“Selain itu, Indonesia perlu membuka pasar baru selain Asia Pasifik dan ASEAN, yakni pasar Asia Tengah, Turki dan Eropa, sampai Afrika dan Amerika Latin,” tambah Anindya.
Menurut Anindya, ada peluang Indonesia mempertahankan hubungan baik dengan AS sebagai mitra dagang. Dalam hal ini, AS membutuhkan pasar bagi peralatan pertahanan, pesawat terbang, dan LNG. “Kita bisa menegosiasikan hal ini dengan produk ekspor andalan Indonesia,” ucap Anindya.
Selain itu, Anindya juga menambahkan bahwa AS memberlakukan Inflation Reduction Act (IRA) atau UU Penurunan Inflasi yang bertujuan menurunkan inflasi di AS, mendorong transisi energi bersih melalui insentif besar-besaran terhadap kendaraan listrik (EV), energi terbarukan (solar, angin), dan industri baterai dan semikonduktor.
Dengan adanya kebijakan tersebut, AS bisa memberikan subsidi terhadap impor produk olahan dari nikel dan mineral lainnya dari Indonesia sepanjang mineral itu diolah sesuai standar lingkungan dan ketenagakerjaan. “Hal ini dimungkinkan oleh critical minerals agreements dengan AS,” tutup Anindya.
Terpisah, Badan Anggaran (Banggar) DPR RI mendorong pemerintah agar segera mengambil langkah-langkah untuk merespons Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengeluarkan tarif impor baru.
Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah khawatir, kebijakan Trump soal tarif baru perdagangan antar negara bakal berdampak pada perekonomian Indonesia.
"Langkah sepihak Amerika Serikat ini kita khawatirkan membawa petaka global seperti era Mckinley. Apalagi negara negara dengan kekuatan ekonomi besar seperti Uni Eropa, Tiongkok, Kanada, dan Meksiko memberikan balasan serupa. Terbaru, Trump juga mengenakan tarif atas barang barang ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 32%," kata Said dalam keterangannya, Jumat 4 April 2025.
Said menyebut, kepastian ekonomi diperlukan Indonesia usai penetapan tarif resiprokal AS diumumkan Trump.
"Di dalam negeri, kita juga menghadapi situasi ekonomi yang tidak mudah, seperti penurunan daya beli, serta kondisi pasar saham dan keuangan yang sangat volatile," sambungnya.
Politikus PDIP itu meminta pemerintah untuk mendorong Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) agar menyehatkan perdagangan internasional.
Menurut Said, pemerintah perlu mengajak dunia mengingatkan WTO agar berjalan sesuai tujuan pembentukannya.
"Mengambil inisiatif melalui forum World Trade Organization (WTO) untuk mengambil kebijakan penyehatan perdagangan global agar lebih adil, dan menopang pertumbuhan ekonomi global secara berkelanjutan. Kita tidak menginginkan hanya untuk kepentingan adidaya, lalu kepentingan masyarakat global untuk mendapatkan kesejahteraan diabaikan," ujar Said.
"Indonesia perlu mengajak dunia pada tujuan dibentuknya WTO untuk prinsip perdagangan nondiskriminasi, membangun kapasitas perdagangan internasional, transparan, dan perdagangan bebas, serta sebagai forum penyelesaian sengketa perdagangan internasional," sambungnya.
Said juga meminta pemerintah perlu mengambil langkah-langkah antisipasi dalam negeri. Antara lain menjaga produk-produk ekspor Indonesia dalam pasar internasional dan mencari pasar pengganti jika produk-produk ekspor Indonesia terhambat akibat kebijakan tarif yang membuat tingkat harga tidak kompetitif.
"Langkah ini untuk mempertahankan surplus neraca perdagangan," katanya.
Selain itu, Said meminta pemerintah memastikan kebijakan penempatan 100 persen devisa hasil ekspor di dalam negeri berjalan dan dipatuhi oleh pelaku ekspor. Hal ini dinilai sebagai jalan memperkuat kebutuhan devisa.