Namun, diakuinya bukan hal mudah untuk mengganti BBM yang ada dengan BBM Euro-4 yang lebih rendah sulfur. Sebab, untuk mempertahankan harga jual BBM dengan kualitas yang lebih baik, dibutuhkan subdisi hingga Rp 40 triliun sampai 2028. Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas BBM membutuhkan invetasi yang cukup besar terhadap kilang-kilang Pertamina yang akan memproduksi BBM-nya.
“Yang membuat susah karena sekarang pemerintah sedang banyak melakukan efisiensi anggaran. Padahal kalau anggaran untuk meningkatkan kualitas BBM ini digunakan, juga bisa mengurangi dampak akibat penyakit-penyakit yang ditimbulkan,” katanya.
Saat ini yang bisa memproduksi BBM dengan standar Euro-4 baru kilang di Balikpapan. Kilang Balongan yang memproduksi BBM dengan emisi 10 ppm kapasitasnya masih sedikit.
Tantangan lain, kata Julius, saat ini belum terlihat lagi political will yang mendorong peningkatan kualitas BBM. “Setelah kementerian Marves (Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi-red), belum ada lagi yang membahas,” kata dia.
Menurut Julius, lantaran saat ini Indonesia masih mengimpor BBM, Indonesia bisa mengambil peluang dalam jangka pendek. Alih-alih mengimpor BBM yang belum memenuhi standar Euro-4, sebaiknya Indonesia mengimpor BBM dengan kualitas lebih baik. Julius mengatakan, harga pasar harga BBM Euro-4 dan Euro-2 tidak berbeda jauh. Hanya selisih Rp 200.
“Lebih baik menambah sedikit biaya tapi kita bisa melakukan impor dengan kualitas yang lebih bagus,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan, masalah utama polusi di Indonesia adalah belum tersedianya BBM bersih. Hal ini juga mengganggu adopsi kendaraan ramah lingkungan.
Dia mengatakan, adopsi Euro-4 tidak boleh ditunda-tunda lagi. Sebab, selain berdampak terhadap polusi udara juga berdampak pada daya saing Indonesia. Penanganan masalah emisi ini pun sudah menjadi hambatan perdagangan.