BANDARLAMPUNG – Pada pilkada serentak 2024 di Provinsi Lampung, ada 4 petahana dan 4 eks petahana kepala daerah yang kembali ikut bertarung. Empat petahana dimaksud yaitu Eva Dwiana-Deddy Amarullah di Pilwakot Bandarlampung, Nanang Ermanto-Antoni Imam di Pilkada Lampung Selatan, Dawam Rahardjo-Ketut Erawan di Pilkada Lampung Timur, dan Musa Ahmad di Lampung Tengah.
Sedangkan empat eks petahana yaitu mantan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi yang berpasangan dengan Sutono untuk Pilgub Lampung. Lalu Parosil Mabsus-Mad Hasnurin di Pilkada Lampung Barat, Dewi Handajani-Ammar Sirajuddin di Pilkada Tanggamus, dan Winarti-Reynata Irawan di Pilkada Tulangbawang.
BACA JUGA:Disdukcapil Bandar Lampung Lakukan 182 Perekaman KTP pada Hari Pencoblosan Pilkada 2024
Namun merujuk hasil quick count (QC) pilkada serentak 2024 di Provinsi Lampung oleh Rakata Institute, dari petahana dan eks petahana tersebut hanya dua yang berhasil mempertahankan posisi sebagai kepala daerah di masing-masing tempatnya. Keduanya sama-sama jilid dua alias berpasangan dengan pasangan yang mendampinginya di pilkada sebelumnya. Yaitu Eva Dwiana-Deddy Amarullah serta Parosil Mabsus-Mad Hasnurin.
Pengamat politik Lampung Candrawansyah menilai ada beberapa petahana yang bisa dibilang tidak berhasil jika diukur dalam hasil QC ini sehingga membuatnya kalah. Namun beberapa faktor penyebab kekalahannya tersebut, menurut dia, memang perlu dikaji lebih mendalam.
Dijelaskan Candra, ada kinerja-kinerja petahana yang selama menjabat tidak memuaskan masyarakat. Misal lambatnya proses pembangunan dan buruknya pelayanan publik. ’’Pun kegagalan dalam menangani masalah-masalah lokal menjadi penyebab utama ketidakpuasan masyarakat," ujarnya kepada Radar Lampung, Kamis (28/11).
Selain itu yang menjadi penyebab kekalahan incumbent menurutnya munculnya alternatif baru pemimpin yang lebih menarik perhatian masyarakat. Apalagi paslon baru ini punya visi dan misi yang lebih relevan dengan apa yang diinginkan masyarakat. Kandidat baru yang dinilai lebih segar, inovatif, atau mampu membawa perubahan bisa menjadi pilihan alternatif yang lebih menarik bagi pemilih.
”Ini juga sering bisa mengalihkan dukungan dari petahana ke paslon yang baru ini," katanya.
Selanjutnya lemahhnya strategi kampanye yang dimiliki paslon kada yang sudah menjabat sebelumnya atau mengincar periode kedua. "Komunikasi dengan masyarakat kurang maksimal. Kemudian penggunaan media sosial juga kurang. Sebab kan saat ini segmen pemilih dari Gen Z dan milenial banyak ya, signifikan sekali," katanya.
Dijelaskannya ada juga faktor fenomena anti-incumbent. Menurutnya kondisi ini bisa terjadi di berbagai situasi. Dimana, masyarakat cenderung jenuh dengan pemimpin lama dan mencari pemimpin baru sebagai bentuk ungkapan terhadap situasi yang ada.
"Kondisi ini memang tidak sepenuhnya disebabkan oleh kinerja kepala daerah yang sedang menjabat. Lebih kepada masyarakat yang menginginkan perubahan" katanya.
Faktor partai politik juga menurutnya menjadi hal utama penyebab kekalahan petahana. "Jika dukungan dari struktur partai tidak solid, tentu hal ini dapat merugikan calon yang diusung. Ketidakkompakan dalam internal partai bisa membuat calon kurang mendapat dukungan maksimal yang akhirnya berpengaruh pada hasil pemilihan," ujarnya. (abd/c1/rim)