BOJONEGORO – Bojonegoro Creative Network (BCN) mengungkapkan hasil eksaminasi publik terhadap tiga keputusan yang diambil oleh Bawaslu Kabupaten Bojonegoro.
Lembaga pemantau independen ini menilai Bawaslu Bojonegoro tidak cermat dalam membuat keputusan, bahkan terkesan ceroboh dan berpotensi menguntungkan peserta pemilihan tertentu.
Eksaminasi tersebut disampaikan dalam acara yang digelar di Adelia Cafe, Jalan Gajah Mada, Bojonegoro, pada Jumat (8/11). Hadir dalam acara tersebut Koordinator BCN, Abdul Ghoni Asror, dua pegiat pemilu, Dian Widodo dan Fatkhur Rohman, serta Koordinator Akademi Pemilu dan Demokrasi, Muhammad Alfian.
Setidaknya ada tiga keputusan Bawaslu yang menjadi sorotan BCN. Pertama adalah laporan Anwar Sholeh terkait dugaan pelanggaran pidana pemilihan yang melibatkan pasangan calon (paslon) nomor urut 1, Teguh Haryono dan Farida Hidayati.
Kedua, keputusan Bawaslu terkait pelanggaran administrasi yang diduga dilakukan oleh KPU Bojonegoro. Ketiga, mengenai keputusan terkait dugaan pelanggaran netralitas Kepala Desa (Kades) Kabalan, Kecamatan Kanor.
Dalam eksaminasi pertama, BCN menyoroti keputusan Bawaslu Bojonegoro terkait dugaan pelanggaran pidana oleh paslon nomor urut 1, Teguh-Farida, yang diduga sengaja mengacaukan jalannya debat publik pertama pada 19 Oktober 2024.
Meskipun Bawaslu menyatakan laporan tersebut tidak terbukti karena dianggap tidak ada unsur kesengajaan, BCN berpendapat bahwa peristiwa tersebut jelas merupakan upaya untuk menggagalkan debat yang telah disepakati.
Koordinator BCN, Abdul Ghoni Asror, menyatakan bahwa ketegangan yang terjadi dalam debat pertama tidak bisa dipisahkan dari keberatan yang disampaikan paslon nomor urut 1 terhadap format debat yang diatur oleh KPU Bojonegoro.
Setelah beberapa kali rapat koordinasi, Bawaslu Bojonegoro hadir di seluruh rangkaian debat pertama dan seharusnya mengetahui peristiwa tersebut. Akibat kericuhan ini, debat kedua yang dijadwalkan pada 1 November 2024 juga batal dilaksanakan.
Kegagalan dalam penyelenggaraan debat publik tersebut, menurut Abdul Ghoni, merugikan masyarakat karena tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai visi, misi, dan program kerja calon kepala daerah. Hal ini tentunya merusak proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Bojonegoro.
Eksaminasi kedua berfokus pada dugaan pelanggaran administrasi yang dituduhkan kepada KPU Bojonegoro terkait acara debat publik. BCN menilai bahwa keputusan Bawaslu yang menyatakan KPU Bojonegoro melanggar administrasi tidak memiliki dasar yang jelas. Bawaslu bahkan tidak memberikan rekomendasi apa pun dalam putusannya, sehingga KPU Bojonegoro tidak dapat mengambil langkah tindak lanjut.
“Keputusan tersebut terkesan dipaksakan dan tidak berdasar,” ungkap Abdul Ghoni.
Eksaminasi ketiga terkait dengan dugaan pelanggaran netralitas oleh Kades Kabalan, yang dianggap melampaui kewenangan Bawaslu.
Abdul Ghoni menegaskan bahwa hanya pejabat yang lebih tinggi, seperti PJ Bupati, yang berwenang menentukan apakah ada pelanggaran atau tidak. Selain itu, peristiwa dugaan pelanggaran tersebut terjadi sebelum pendaftaran calon kepala daerah dimulai, sehingga tidak relevan jika diterapkan pada konteks Pilkada Bojonegoro.
Sementara itu, Muhammad Alfian, Koordinator Akademi Pemilu dan Demokrasi, memberikan penjelasan mengenai Berita Acara (BA) KPU Bojonegoro Nomor 312/PL.02.4-BA/3522/2024 yang mengatur pelaksanaan debat.