JAKARTA - Harga minyak dunia menguat pada perdagangan Selasa (22/10). Ini melanjutkan kenaikan dua hari berturut-turut sejak awal pekan, Senin (21/10). Hal ini karena permintaan pasokan Tiongkok dan konflik Timur Tengah yang semakin panas. Dua sentimen itu membuat keseimbangan pasar goyang, sehingga harga minyak ke depan tinggi.
Melansir Reuters, Rabu (23/10), harga minyak Brent untuk Desember naik sebesar USD1,75 (2,4%) menjadi di USD76,04 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat (AS) untuk pengiriman November meningkat USD1,53 (2,2%) menjadi US$ 72,09 per barel.
Langkah Tiongkok untuk membuat ekonomi negaranya bangkit mulai terlihat. Beberapa analis memperkirakan negara itu akan meningkatkan ekspektasi terhadap minyak. Sebelumnya, permintaan menurun terhadap minyak Tiongkok karena elektrifikasi kendaraan yang kini menurun dan memberikan angin segar bagi harga minyak.
BACA JUGA:Tiga Kunci Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Pada Senin (21/10/2024), harga Brent dan WTI naik hampir 2%, setelah Tiongkok mengumumkan pemotongan suku bunga acuan yang memberikan harapan akan pemulihan ekonomi dan konsumsi bahan bakar yang lebih tinggi.
Stok minyak global yang menurun juga menambah sentimen positif. Data terbaru menunjukkan stok minyak bumi global mencapai 1,24 miliar barel minggu lalu, turun 5 juta barel dibandingkan tahun lalu.
Hal ini mengindikasikan adanya defisit pasokan pada kuartal IV, yang diperkirakan akan terus mendukung harga minyak dalam waktu dekat.
Namun, stok minyak mentah AS justru naik sebesar 1,64 juta barel minggu lalu. Kemudian, stok bensin dan bahan bakar distilasi gabungan turun sebanyak 3,5 juta barel. Angka resmi cadangan minyak AS akan dirilis oleh pemerintah pada Rabu.
BACA JUGA:Pemerintah Ungkap Tiga Kunci Ekonomi Tumbuh 5,2 Persen Tahun 2025
Di tengah lonjakan harga minyak, upaya diplomatik AS untuk menghentikan ketegangan di Timur Tengah masih belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Israel hingga saat ini tidak menunjukkan tanda-tanda menghentikan serangan militer. Sementara Hizbullah, yang didukung Iran, menolak negosiasi selama pertempuran dengan Israel masih berlangsung. (beritasatu/c1)