’’Untuk bahan pangan, sebaiknya diutamakan pangan lokal dan perlu diperhatikan untuk balita usia 6-23 bulan tidak boleh diberikan susu selain ASI. Diutamakan menggunakan bahan yang terfortifikasi atau sudah mendapatkan tambahan nutrisi,” jelasnya.
Menurutnya, masalah gizi ini bisa berdampak turun-temurun terhadap generasi penerusnya. Maka dari itu, program MBG diharapkan bisa benar-benar tepat sasaran dalam hal pemenuhan gizi bagi masyarakat Indonesia.
“Kalau seorang ibu hamil mengalami kekurangan gizi, maka anak yang dilahirkan cenderung kurang gizi, sehingga kalau tidak ditangani, maka menyebabkan remaja yang juga kekurangan gizi,” ujar dia.
Kekhawatiran Fauzi tersebut tentu bukan tanpa alasan karena sejauh ini pola konsumsi makanan bergizi masyarakat kita masih kurang memenuhi syarat.
“Pada umumnya, pola konsumsi balita dan anak kita kurang mengkonsumsi Makanan Pendamping (MP-ASI) berprotein hewani, sedangkan pola makan anak-anak remaja kita masih belum baik, 50 persen masih mengkonsumsi makanan manis, asin, dan instan,” tuturnya.
Kekhawatiran ia juga diperkuat data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, di mana jumlah konsumsi makanan dan minuman jadi atau processed food terus meningkat dari tahun ke tahun, yaitu tiga kali lipat daripada daging, telur, dan susu; empat kali lipat daripada ikan; serta enam kali lipat daripada buah dan sayuran.
“Dari kecenderungan pola makan yang masih kurang sehat tersebut, maka makan bergizi gratis yang sekarang sasaran utamanya anak-anak sekolah bisa sekaligus memberikan edukasi tentang pola makan sehat,” ungkap Fauzi. (jpc)