Kemudiaan di Kementerian Sosial, pemerintah memberikan bantuan rutin setiap bulan yang diterima oleh lara korban.
Untuk Kementerian Pertanian, juga menyalurkan alat-alat pertanian hingga hewan ternak kepada lara korban tragedi Talangsari.
“Misal pada waktu kasus dulu itu koban ada lembu diambil TNI. Kemudian itu diganti oleh Kementan. Karena lembu sudah sudah, maka diganti sapi,” ucapnya.
’’Ada juga alat-alat pertanian untuk mendukung kegiatan pertanian,” ujarnya.
Kementerian Koperasi dan UKM juga memberikan bantuan dalam bentuk pengembangan usaha-usaha kecil dan menengah.
Lebih lanjut, Makarim mengungkapkan bantuan-bantuan tersebut telah disiapkan dan tinggal menunggu disalurkan.
Penyaluran sendiri setelah data penerima lengkap dan telah diverifikasi oleh Pemprov Lampung dan Pemkab Lampung Timur.
“Kalau itu sudah semua, maka kementerian dan lembaga akan datang dan memberikan komitmen yang sudah disebutkan itu,” tuturnya.
Diketahui mengutip dari Wikipedia, Tragedi Talangsari 1989 atau Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (saat itu masuk Kabupaten Lampung Tengah).
Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Aturan ini termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Komnas HAM yang memegang mandat sesuai Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM membentuk tim pemantauan peristiwa Talangsari dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana.
Komnas HAM mencatat tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa.
ABRI juga membakar seluruh perabotan rumah warga sehingga situasi saat itu sangat mencekam. Dusun itu sempat disebut sebagai Dusun Mati dan orang-orang yang tinggal di sana mendapat sebutan sebagai “orang lokasi” sehingga mendapat diskriminasi dari penduduk sekitar. (pip/c1/fik)