JAKARTA - Pasal-pasal aturan produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan dinilai akan berdampak negatif bagi pelaku perdagangan berbasis digital atau online. Meskipun tergolong pihak terdampak, para pelaku ekonomi digital ini mengaku belum pernah dilibatkan dalam perumusan aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan tersebut.
’’Terkait (pasal tembakau) RPP Kesehatan, sampai saat ini belum ada diskusi antara Asosiasi E-Commerce Indonesia dengan pemerintah,” ucap Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga dalam keterangan tertulis kepada JawaPos.com, Senin (20/11).
Padahal, sosialisasi atas berbagai larangan di pasal tembakau tersebut sangat dibutuhkan oleh para pelaku industri di ekonomi digital. Sebab, secara umum, sejumlah pasal soal tembakau yang memuat larangan promosi, iklan, penjualan, dan lainnya dalam RPP Kesehatan diyakini akan memengaruhi transaksi.
Sebagaimana diketahui, Pasal 441 RPP Kesehatan, misalnya berbunyi tentang larangan penjualan produk tembakau dengan memajang produk tembakau, secara eceran satuan per batang, serta larangan menjual menggunakan jasa situs atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial. Kemudian Pasal 449 memuat larangan mengiklankan produk tembakau di media luar ruang, situs, dan/atau aplikasi elektronik komersial, media sosial, dan tempat penjualan produk tembakau.
Pihaknya menyayangkan tidak ada pelibatan sama sekali meskipun akan sangat terdampak dari pasal tembakau di RPP Kesehatan ini. Hal ini berhubungan dengan efektivitas regulasi sehingga bisa diketahui apakah bisa dijalankan atau tidak.
Di samping itu, selama ini pelaku industri digital seperti anggota idEA patuh pada aturan yang berlaku. “Pada dasarnya idEA dan semua anggota selalu patuh kepada peraturan yang berlaku. Kami yakin produk tembakau dan komunikasi terkait yang ada di platform-platform digital anggota idEA sudah dipastikan kepatuhan pada peraturan-peraturan yang berlaku,” ujar Bima.
Sebelumnya, Sekretariat Bersama Asosiasi Bidang Jasa, Periklanan, Media Penerbitan, dan Penyiaran juga mempersoalkan hal ini karena tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan pasal tembakau di RPP Kesehatan. Padahal, isi pasal tembakau tersebut akan berdampak buruk terhadap industri yang mereka geluti.
Oleh karena itu, mereka melayangkan surat resmi sebagai bentuk protes yang dikirimkan kepada Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dan Komisi I DPR RI. Dalam surat resmi yang ditandatangi Fabius Bernadi dari Asosiasi Perusahaan Media Luar-griya Indonesia (AMLI) dan Dede Imam dari Ikatan Rumah Produksi Iklan Indonesia (IRPII) sebagai perwakilan dari industri ini menyatakan industri kreatif nasional tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dan partisipasi publik bermakna terkait pasal tembakau di RPP Kesehatan.
“Hal ini sangat kami sayangkan karena pemahaman industri kreatif menjadi sangat terbatas terkait rencana penerapan peraturan tersebut. Terlebih (pasal tembakau) RPP kesehatan disusun dengan metode omnibus dimana poin-poin pelarangan total juga dibahas bersamaan dengan berbagai lain yang tidak berhubungan dengan usaha kami,” sesalnya.
Poin tersebut menjadi salah satu dari tiga poin yang menjadi inti pernyataan sikap asosiasi industri kreatif nasional. Poin kedua ialah, rencana pelarangan total iklan pada pasal tembakau di RPP Kesehatan akan secara langsung mengurangi pendapatan industri kreatif, hiburan, periklanan, serta media-media yang menggantungkan pemasukannya dari penerimaan iklan dan promosi seperti TV, digital, dan media luar ruang.
Kemudian poin ketiga menekankan bahwa industri ekonomi kreatif nasional patuh pada aturan iklan produk tembakau dan turut mendukung upaya pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak. Hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab para pelaku industri terhadap lingkungan dan sosial. (jpc/c1/abd)