****
Tepat di bawah bulan yang bersinar sebagai penerang kehidupan. Disaksikan oleh ribuan bintang yang menggantung di langit malam. Aku bertemu dengan pria itu. Memandang indahnya dunia malam bersama sang pujaan.
Hening. Hanya gesekan angin dengan pohon yang menggugurkan dedaunan sebagai pemecah keheningan.
Pria itu menggenggam tanganku, menatap lekat ke manik mataku.
"Kita akan tetap bersama apa pun penghalangnya."
Bibir pria itu tertarik ke atas membuat sebuah lengkungan kebahagian.
"Kenapa? Apa kau tak percaya pada ucapanku?"
Dahi pria di sampingku ini berkerut setelah melihat perubahan ekspresi di wajahku. Aku tak mampu memandang wajahnya.
"Bukan begitu, tapi banyak pertanyaan yang melintas di pikiranku."
Aku melepas genggaman tangan kami. Kujatuhkan tubuhku di atas rumput hijau dengan kedua tangan sebagai bantalan.
"Di manakah tempat yang akan menyakralkan kita kelak? Di mana tempat yang akan menyatukan kita kelak?"
Mataku mulai berair mengatakan hal itu. Pria itu menatapku sejenak, kemudian menjatuhkan tubuhnya seperti yang kulakukan.
Pria itu hanya diam mendengar keluhan yang selama ini hanya terpendam sambil menerawang jauh ke langit.
"Apakah di dalam masjid yang tenteram ataukah di dalam gereja yang damai? Di mana tempat yang akan menyakralkan kita kelak? Di mana?"
Aku tak sanggup lagi berkata. Hanya menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Pria itu mengubah posisinya yang pada awalnya ia terbaring di atas rumput kini menjadi duduk bersila.
Terlihat pria itu yang menunduk lemas mendengar pertanyaanku. Pria itu pun membangunkanku dan menyamakan posisiku dengannya.