Karya: Ninda Nurinda Sari
Mentari menyingsing dari ufuk timur. Hangatnya menjalar ke seluruh tubuh. Burung-burung yang bernyanyi di pagi hari mengingatkanku pada sosok pria tinggi, berkulit sawo matang, dan salah satu anggota tim basket. Pria itu juga humoris.
Naufal. Aku sungguh mengaguminya saat ini. Entah sejak kapan rasa ini tumbuh, tapi yang pasti kini, esok, dan selamanya aku takut kehilangannya.
Aku Aprilia, remaja 15 tahun yang baru saja mengenal dunia putih abu-abu. Awalnya kukira masa ini tak akan pernah menjadi kelabu. Masalah itu datang ketika aku mulai mengenalnya. Naufal. Aku bertemu dengannya ketika masa orientasi di SMA. Saat orientasi berlangsung, sedikit pun aku tak pernah berbincang dengannya. Bibirku terbungkam oleh sifatku yang cuek. Setelah masa orientasi itu berakhir, kami mulai dekat. Entah angin apa yang membawaku dekat dengannya. Mungkin itulah yang disebut takdir.
Semula kami hanya menjalin hubungan layaknya pertemanan. Pria itu sering menceritakan teman wanitanya. Awalnya aku merasa biasa saja menjadi tempat curhat pria itu. Semakin lama aku mendengar curhatan tentang teman wanitanya aku semakin tak rela.
BACA JUGA:Manusia Pilihan
Apa ini di sebut cemburu? batinku.
Bahkan, di salah satu lembar harianku tertulis sajak-sajak tentang pria itu.
Kedekatanku dengannya telah membangkitkan amarah wanita itu. Wanita yang saat itu tengah dekat dengannya, bahkan jauh sebelum pria itu mengenalku.
Aku menerima setiap keluhan wanita itu. Aku hanya mampu menatap mata wanita itu dan sesekali menjawab setiap pertanyaannya.
"Apa hubungan mu dengan Naufal?"
"Kenapa kau selalu bersamanya?”
BACA JUGA: Ayo Lestarikan Bahasa Lampung!
"Di sini siapa yang kekasihnya? kenapa malah kamu yang selalu pergi dengannya? kenapa?"
Rentetan pertanyaan seperti itulah yang datang bertubi-tubi padaku.