Kuota BBM Subsidi untuk tahun 2025 Diusulkan 18,84 - 19,99 Juta Kilo Liter
Menteri ESDM Arifin Tasrif-Foto Kementerian ESDM -
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan volume bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran 2025 sebesar 18.84 - 19.99 juta kilo liter (KL).
Usulan tersebut terdiri dari minyak tanah sebesar 0.51 - 0.55 juta kilo liter, sedangkan untuk minyak solar sebesar 18.33 - 19.44 juta kilo liter kilo liter.
Jumlah usulan ini sedikit lebih meningkat, di mana pada 2024 ini, kuota untuk BBM bersubsidi untuk Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (JBT) Minyak Tanah dengan kuota 0.5 juta kilo liter, JBT Minyak Solar dengan kuota 17.8 juta kilo liter, dan gas elpiji 3 Kg sebesar 8.03 juta metric ton (MT).
BACA JUGA:Soal Rencana Kenaikan BBM, Presiden Jokowi Sebut Masih Pertimbangkan Kemampuan Fiskal
Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan pemerintah terus memberikan subsidi tetap untuk BBM solar dan subsidi selisih harga untuk minyak tanah, dengan pengendalian volume dan mengontrol kelompok atau sektor yang berhak mendapatkan manfaat.
Pemerintah mempertimbangkan perkembangan indikator ekonomi makro, terutama ICP dan nilai tukar rupiah, saat menentukan besaran subsidi tetap solar.
"Dalam RAPBN 2025, kami mengusulkan subsidi tetap untuk minyak solar sebesar Rp1.000 - Rp3.000 per liter dan subsidi selisih harga untuk minyak tanah," kata Arifin dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta dikutip Jumat 7 Juni 2024
Lebih lanjut kta Arifin,hal ini perlu dilakukan mengingat harga keekonomian minyak solar mencapai Rp12.100/liter.
BACA JUGA:Pemerintah Lunasi Dana Kompensasi BBM Subsidi ke Pertamina
Sedangkan harga jual eceran sebesar Rp6.800 per liter. Minyak solar masih banyak dipergunakan untuk transportasi darat, transportasi laut, kereta api, usaha perikanan, usaha pertanian, usaha mikro, dan pelayanan umum.
Di kesempatan yang sama, anggota Komisi VII DPR RI Nasril Bahar menyampaikan bahwa solar subsidi masih banyak disalahgunakan untuk kegiatan pertambangan. Hal ini terjadi karena disparitas harga solar yang tinggi antara harga subsidi dan harga non-subsidi di pasaran.
"Mereka membeli solar bersubsidi dengan harga murah dan kemudian menjualnya kembali ke industri pertambangan dengan harga yang lebih tinggi," terangnya.
BACA JUGA:Pengamat Nilai Pemberian IUP Tanpa Lelang untuk Ormas Langgar UU Minerba
Arifin menghimbau kepada masyarakat untuk bersama-sama mengawasi penyaluran BBM bersubsidi dan melaporkan jika menemukan indikasi penyalahgunaan.