RAHMAT MIRZANI

Pengusaha Bisa Ajukan Insentif Fiskal Jika Keberatan Terhadap Aturan Pajak Hiburan

AJUKAN INSENTIF FISKAL: Pengusaha Hiburan bisa mengajukan insentif fiscal jika keberatan dengan aturan pajak hiburan. -FOTO DOK. JAWA POS/Instagram@kopistasiunkalasan-

JAKARTA - Kenaikan pajak hiburan memang memicu banyak kritik dari kalangan pelaku usaha. Tetapi, pemerintah memastikan tidak semua jenis pajak hiburan mengalami kenaikan.

Direktur Pajak dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati menjelaskan, merujuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) pada Pasal 55 dijelaskan, ada 12 jenis yang termasuk jasa kesenian dan hiburan.

Namun, dari 12 jenis kegiatan tersebut, kegiatan yang dikenakan pajak barang jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan dengan tarif batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen adalah untuk kegiatan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Sementara, mayoritas pajak hiburan lainnya justru turun. Yang semula dalam UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) maksimal 35 persen, lalu dengan UU HKPD justru turun ke 10 persen.

BACA JUGA:Tahun 2023, BPS Catat Penurunan Ekspor 11,33 Persen

Sejumlah pelaku bisnis hiburan, di antaranya yang disuarakan pengacara Hotman Paris Hutapea dan penyanyi Inul Daratista, mengkritik kebijakan baru tersebut. Mereka menyebut usaha hiburan yang dijalankan belum sepenuhnya pulih akibat hantaman Covid-19.

Terkait dengan alasan itu, Lydia menyebut bahwa sejatinya realisasi penerimaan yang bersumber dari pajak hiburan telah mendekati capaian pada prapandemi. Dan, pengusaha yang merasa keberatan dengan kebijakan itu pun dapat mengajukan insentif fiskal.

Insentif fiskal yang dimaksud adalah berupa pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan, atau penundaan pembayaran atas pokok pajak. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 99 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023.

Pemberian insentif fiskal itu merupakan kewenangan kepala daerah sesuai dengan kebijakan daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. ’’Jadi kalau saat ini memang belum mampu dengan tarif 40 persen, silakan berdasar assessment daerahnya melakukan pengurangan pokok pajaknya, memberikan pembebasan, ataupun penghapusan dari pokok pajak,’’ tutur Lydia.

BACA JUGA:PLN UID Lampung Imbau Warga Tingkatkan Kewaspadaan Hadapi Cuaca Ekstrem hingga Bencana Banjir

Di DKI Jakarta, pemprov setempat menetapkan pajak hiburan atas diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 40 persen. Regulasi sebelumnya, pajak untuk jenis hiburan di atas ditetapkan 25 persen.

Sementara itu, Pemkot Surabaya menetapkan tarif paling tinggi 50 persen untuk hiburan dewasa. Misalnya, diskotek, karaoke dewasa, kelab malam, bar, panti pijat, dan mandi uap atau spa. Sedangkan karaoke keluarga ditetapkan 40 persen.

”Aturan ini berlaku sejak 1 Januari 2024,’’ jelas Kabid Pajak Hotel, Restoran, PPJ, Parkir, Reklame, Hiburan, dan Air Tanah Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Surabaya Ekkie Noorisma di Surabaya kemarin (16/1).

Ketua Asosiasi Pengusaha Rumah Bernyanyi Keluarga Indonesia Santoso Setyadji menilai tarif yang ditetapkan pemkot tidak jauh berbeda dengan ketentuan UU HKPD. Hanya, memang pemkot tidak menerapkan tarif maksimal 75 persen pada hiburan malam. ”Tapi, kami masih merasa keberatan dengan tarif pajak tersebut,” katanya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan