Perkara Firli Bahuri Bisa Dihentikan di Praperadilan
USAI DIPERIKSA DEWAS: Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri di gedung ACLC KPK, Jakarta, belum lama ini.-FOTO DERY RIDWANSAH/JAWAPOS.COM-
Tak Perlu Dilimpahkan ke Persidangan Pokok
JAKARTA – Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka sesuai kewenangan penyidik yang didasari oleh adanya minimal dua alat bukti. Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto pun menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka telah sah secara hukum.
Hal tersebut merupakan jawaban yang disampaikannya dalam sidang praperadilan Firli melawan Karyoto yang berlangsung pada Senin (11/12) lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Mengomentari hal itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Romli Atmasasmita melalui keterangan tertulisnya mengungkapkan bahwa jawaban Karyoto selaku termohon dalam praperadilan tersebut sangat normatif. Menurutnya, polisi hanya menyatakan penetapan tersangka sah hanya didasarkan pada kuantitas alat bukti tanpa memerhatikan aspek kualitas alat bukti tersebut.
Di sisi lain, kata Romli, Termohon menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Firli Bahuri juga telah sah karena sudah ada penyidikan, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), sudah memeriksa saksi-saksi, surat-surat dan ahli.
“Sah atau tidaknya penetapan tersangka FB patut diuji karena dalam pemeriksaan saksi-saksi pada tahapan penyidikan, tidak ada satu pun saksi yang menyatakan mengetahui, melihat, atau mendengar adanya pemerasan, penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji atau penyuapan oleh SYL (mantan Menteri Pertanian Sahrul Yasin Limpo) kepada FB, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),” ungkap Romli seperti dikutif jawapos.com, Rabu (13/12).
Soal adanya foto pertemuan mantan Menteri Pertanian (Mentan) SYL dengan Firli, Romli menyampaikan bahwa dalam hal ini penyidik Polda Metro Jaya tidak mengindahkan UU ITE dalam penggunaan alat bukti elektronik. Dengan demikian, menurut Romli, alat bukti tersebut dapat menjadi tidak sah dan secara materiil tidak membuktikan adanya pemerasan, gratifikasi atau suap karena hanya menunjukkan SYL dan temannya menemui Firli Bahuri.
“Memperhatikan jawaban termohon yang tidak menguraikan satu alat bukti yang menunjukkan adanya actus rea maupun mens rea sebagaimana dimaksud Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Tipikor, maka perkara ini dapat dihentikan di praperadilan dan tidak perlu dilimpahkan dalam persidangan pokok perkara,” ujarnya.
Romli menegaskan, jawaban Kapolda Metro Jaya dalam sidang praperadilan tersebut secara tidak langsung memperlihatkan bahwa memang tidak ada satu pun saksi yang melihat dan mendengar langsung dugaan kasus suap yang menjerat Firli.
“Sebagaimana pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP terkait keterangan menjadi hal pokok pembuktian, tidak ada suatu peristiwa pidana tanpa saksi. Bahkan begitu pentingnya keterangan, maka satu saksi bukan saksi, Unus Testis Nulls Testis,” katanya.
“Dalam pasal 184 KUHAP, keterangan saksi diposisikan sebagai pertama dalam alat bukti yang sah. Jika tidak ada saksi, maka sesungguhnya tidak cukup bukti, maka penetapan tersangka tidak sah,” sambungnya.
Di samping itu, Romli menyampaikan, jika melihat informasi dari berbagai media, ditemukan bahwa awal mula dibuatnya Laporan Polisi yaitu berdasarkan adanya Laporan dan/atau Pengaduan dari Masyarakat (Dumas) pada 12 Agustus 2023.
Akan tetapi, lanjut Romli, tidak jelas disebutkan siapa pelapor atau pengadu dalam kasus dugaan pemerasan tersebut.
“Pada sisi lain, bahwa perkara yang menetapkan FB menjadi tersangka tidak menguraikan tentang awal terjadinya perkara ini, yaitu perkara DJKA tanggal 12 April 2023 yang sudah ada beberapa orang yang ditetapkan KPK menjadi tersangka,” ujarnya. (jpc/c1/rim)