Negara Kaya dan Miskin Tetap Butuh Utang

ORASI ILMIAH: Guru Besar Unila Prof. Dr. Marselina, S.E., M.P.M. pada pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ekonomi Publik belum lama ini.-FOTO SYAIFUL MAHRUM/RADAR LAMPUNG-

Tri Darma Unila

Oleh: Prof. Dr. Marselina, S.E., M.P.M.

Guru Besar Bidang Ekonomi Publik Unila

 MENGAPA negara harus berutang dan ada masalah apa dengan utang? Demikian judul orasi ilmiah salah satu Guru Besar Universitas Lampung (Unila), Prof. Dr. Marselina, S.E., M.P.M., yang belum lama ini dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ekonomi Publik kampus setempat.

          Menurut Prof. Marselina, utang tidak akan menjadi masalah jika dikelola dengan benar, profesional, cermat dan taat aturan, serta tidak dikorup. ’’Karena itu perlu komitmen pemimpin melalui perencanaan yang baik lewat pengalokasian utang untuk proyek-proyek yang produktif dan strategis yang mempunyai multiplier effect yang tinggi serta memiliki repayment capacity. Sebaliknya jika utang tidak dikelola dengan baik akan membebani keuangan negara, mengganggu stabilitas perekonomian, hingga terusiknya kedaulatan negara. Pemerintah juga harus mampu mengendalikan utang swasta agar terhindar dari masalah jatuh tempo bersamaan,'' jelasnya.

          Langkah konkret Pemerintah Indonesia untuk mencapai keberlanjutan fiskal dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kata Prof. Marselina, adalah dengan mengeluarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Daerah. ''PP No. 23/2003 Pasal 5 menetapkan bahwa batas maksimal utang pemerintah yaitu 60 persen dari PDB dengan target defisit anggaran maksimal 3 persen PDB.

''Untuk mengoperasionalisasikan peraturan pemerintah tersebut, pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan kembali Peraturan Menteri Keuangan No. 95/PMK.02/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme Pemantauan Defisit APBN, APBD, dan Pinjaman," ujarnya.

          Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, tegasProf. Marselina, pemerintah wajib menjaga dan mempertahankan target defisit anggaran untuk menciptakan keberlanjutan fiskal. "Kondisi utang Pemerintah Indonesia per Agustus 2023 mencapai Rp7.870,35 triliun. Pemerintah mengalokasikan pengelolaan utang ini melalui APBN, tepatnya melalui pos pembayaran bunga Surat Berharga Negara (SBN). Dari jumlah utang tersebut, sebanyak 89 persen atau Rp6.995,18 triliun di antaranya bersumber dari SBN dan 11 persen lainnya adalah pinjaman atau Rp875,16 triliun. Apabila dirinci, komposisi SBN itu sebanyak Rp5.663,94 triliun dibeli investor dalam negeri atau 72,3 persen dengan mata uang rupiah, sedangkan sisanya mencapai Rp1.331.24 triliun adalah valuta asing (27,7 persen). Utang negara digunakan untuk membiayai belanja produktif dan juga dalam rangka penyertaan modal (PMN) sehingga diharapkan hasilnya akan dinikmati di masa yang akan datang," urainya.

          Prof. Marselina juga menyatakan ada beberapa alasan negara harus berutang. Di antaranya menghindari opportunity loss. Alasan utama pemerintah berutang bukan karena penerimaan pajak tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan. Tapi jika ditunda akan hilang peluang (opportunity) saat itu yang bisa mengakibatkan kerugian di masa yang akan datang. Indonesia sudah berutang sejak zaman Orde Baru. Sejak tahun 1967, Indonesia masuk dalam Inter Govermental Group On Indonesia atau IGGI, yaitu kelompok konsorsium internasional yang terdiri dari negara-negara dan lembaga dunia yang mengkoodinir dana bantuan (utang) multilateral ke Indonesia," katanya.

          Kebijakan utang yang diambil pemerintah Indonesia saat itu, kata Prof. Marselina, adalah membangun proyek proyek strategis. ''Yakni peningkatan SDM melalui sektor pendidikan dan kesehatan. Selama 1973-1979 dengan bantuan utang luar negeri, pemerintah Indonesia berhasil membangun 61.000 SD. Sedangkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, pemerintah saat itu membangun ratusan puskesmas dan posyandu. Pendidikan dan derajat kesehatan masyarakat saat itu meningkat signifikan dan sampai saat ini generasi selanjutnya masih menikmatinya. Bisa dibayangkan, jika utang tidak dilakukan pemerintah saat itu, hilanglah kesempatan emas Indonesia memiliki SDM yang sehat, pintar, dan berkualitas," paparnya.

          Menurutnya utang bisa dilihat dari berbagi sudut pandang dan kepentingan. ''Ada persepsi bahwa negara pengutang atau debitur adalah negara-negara miskin yang harus dibantu pembiayaannya. Ternyata, pernyataan itu tidak selalu benar. Dari data menunjukkan hal sebaliknya, yaitu negara-negara pengutang terbesar adalah negara negara maju dan kaya.

Tujuh negara maju dan kaya yang memiliki utang terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jepang, Jerman, Tiongkok, dan Italia," katanya.

          Kesimpulannya, kata Prof. Marselina, setiap negara baik negara kaya maupun miskin tetap membutuhkan utang. ''Utang dilakukan bukan semata karena pembiayaan pajak tidak mencukupi. Namun karena ada opportunity yang harus diambil dan dimanfaatkan saat itu juga. Jika tidak diambil, opportunity itu akan hilang. Opportunity muncul bukan tanpa usaha tetapi karena adanya trust dan respect dari negara donatur kepada negara debitur. Kepercayaan (trust) negara donor harus dijaga pemerintah dan swasta melalui pembayaran bunga dan pokok utang tepat waktu. Komitmen kepala negara dan semua pihak pengelola utang, menciptakan stabilitas politik, penegakan hukum, pengendalian korupsi, dan pemerintahan yang bekerja secara efektif," ungkapnya. (sya/c1/rim)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan