RAHMAT MIRZANI

P3M Anggap Menkes Langgar UU Kesehatan

PENYORTIRAN: Pekerja melakukan penyortiran daun tembakau di Gudang Tembakau Empatlima, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. -FOTO MIFTAHUL HAYAT/JAWA POS -

Sepanjang pembahasan RPP Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) disinyalir menutup komunikasi dengan multi-stakeholders ekosistem pertembakauan. Demikian halnya dengan P3M yang memberikan masukan namun nampaknya tidak diakomodasi oleh Kemenkes.

 

"Kami menduga mungkin ada tekanan global yang membuat pemerintah terutama Kemenkes tidak melibatkan ekosistem pertembakauan," ujar K.H. Sarmidi.

Hal itu bisa dilihat dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebagaimana pada Pasal 5.3 FCTC dinyatakan, dalam membuat kebijakan berkait pengendalian tembakau pemerintah harus bertindak untuk melindungi dari pengaruh industri tembakau karena ada konflik mendasar dan tidak dapat didamaikan antara kepentingan industri tembakau dan kepentingan kebijakan kesehatan masyarakat.

"Karena ketentuan tersebut, tampaknya hampir tidak mungkin ekosistem pertembakauan dilibatkan oleh Kemenkes. Padahal, petani tembakau, petani cengkeh, dan pekerja IHT yang akan menjadi korban pertama kali jika RPP disahkan. Seharusnya, dalam membuat kebijakan melibatkan objek yang hendak diatur sehingga ketemu titik tengah," imbuh K.H. Sarmidi.

Merujuk kajian P3M, dampak dari disahkannya RPP Kesehatan dengan pasal tembakau yang ada pada industri akan berpengaruh buruk bagi iklim usaha IHT. Banyaknya larangan terhadap IHT seperti bahan tambahan atau pembatasan tar dan nikotin, akan membuat IHT nasional gulung tikar.

Perlu diketahui, kretek yang menjadi produk IHT nasional menggunakan bahan tambahan rempah sebagai penggenap rasa.

"Kretek khas Indonesia juga menggunakan tembakau dan cengkeh dalam negeri dalam pembuatan rokok. Kalau dibatasi dan dilarang, yang terkena dampak terlebih dahulu industri kretek nasional," kata K.H. Sarmidi.

K.H. Sarmidi mengungkapkan, sebelum adanya RPP Kesehatan pun, IHT sudah kepayahan karena kebijakan fiskal yang eksesif. Sejak tahun 2020, tarif cukai hasil tembakau selalu naik dua digit. Padahal, di saat bersamaan, IHT tertekan karena pandemi Covid-19 dan disusul situasi dunia yang tidak pasti.

Situasi IHT legal saat ini terus terpuruk yang terkonfirmasi melalui realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang tidak memenuhi target. Produksi rokok juga turun. Dengan kondisi itu, pemerintah perlu memberikan peluang untuk pemulihan, dengan cara, tidak ada kenaikan tarif CHT untuk tahun 2025 karena sudah ada kenaikan tarif PPN terhadap hasil tembakau.

"Sedangkan untuk tahun 2026 dan tahun berikutnya, kenaikan tarif cukai HT disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi atau angka inflasi," pinta KH Sarmidi.

Dengan tambahan RPP, tentu akan membuat IHT gulung tikar. IHT akan semakin berat jika harus memenuhi ketentuan dari RPP seperti perubahan kemasan, bahan baku, yang costnya sangat besar, pengaturannya juga semakin ketat.

"IHT telah diatur melalui banyak regulasi. Ada 446 regulasi yang mengatur IHT. 400 (89,68 persen) itu berbentuk kontrol. 41 (9,19 persen) mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12 persen) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan," tukas K.H. Sarmidi. (jpc/c1/ful)

 

Tag
Share