Bawaslu Header

Aturan Teknis CCS Perlu Lebih Luas

TEKNOLOGI CCS: Blok Banyu Urip yang dikelola Exxonmobil telah menggunakan teknologi CCS/CCUS sejak pertama didirikan. --FOTO EXXONMOBIL

Mewadahi Pengurangan Emisi dan Mampu Tangkap Peluang Ekonomi
 
 
JAKARTA — Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Parulian Paidi Aritonang meminta pemerintah untuk mewadahi kepentingan yang lebih luas terkait dengan aturan carbon capture storage (CCS). Hal ini guna menangkap peluang ekonomi, terutama pada sektor ketenagalistrikan.
 
“Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat sambil mengurangi jejak karbon. Pemerintah juga harus menjaga agar harga listrik tetap terjangkau bagi konsumen dan dunia usaha,” ujar Parulian dalam FGD Pemanfaatan Teknologi CCS dengan para pakar.
 
Diketahui, FGD ini diselenggarakan menyusul terbitnya dua regulasi penting terkait CCS, yaitu Perpres Nomor 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon serta Permen ESDM No. 2/2023 tentang Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
 
Menurut Parulian, teknologi CCS memiliki potensi tidak hanya untuk menyimpan emisi karbon dari pembangkit listrik, tapi juga untuk mendukung percepatan transisi energi di Tanah Air.
 
“Saya berharap FGD ini dapat menghasilkan kajian kelayakan, potensi manfaat, tantangan, serta bagaimana teknologi ini dapat membantu meminimalkan risiko kenaikan tarif listrik yang penting bagi perekonomian masyarakat," katanya.
 
Masih dalam FGD, Haposan Napitupulu selaku Expert Advisor PT ESSA menyatakan bahwa implementasi CCS pada bisnis hulu migas tidak mengalami kendala karena biayanya sudah diakomodasi dalam cost recovery.
 
“Namun, ini berbeda dengan sektor hilir seperti ketenagalistrikan, industri, dan transportasi yang tidak memiliki mekanisme cost recovery,” tegas Haposan.
 
Menurut Haposan, Kementerian ESDM perlu memetakan wilayah kerja migas yang sudah tidak optimal atau depleted reservoir dan membuka data fasilitas permukaan bagi penghasil karbon untuk dimanfaatkan sebagai penyimpanan karbon yang dihasilkan industri hilir.
 
Diketahui, saat ini belum ada landasan hukum khusus yang mengatur mekanisme pelaksanaan CCS di sektor ketenagalistrikan. Peraturan yang ada, seperti Perpres No 14/2024, hanya mengatur skema penyelenggaraan CCS di sektor hulu. Oleh karena itu, diperlukan regulasi khusus untuk penanganan emisi CO2 dengan pemanfaatan teknologi CCS di sektor ketenagalistrikan agar tidak berdampak pada peningkatan BPP.
 
Sementara itu, Asisten Deputi Energi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi RI Ridha Yasser menjelaskan bahwa implementasi CCS di berbagai sektor memegang peranan penting dalam upaya mengurangi emisi karbon dunia.
 
“Saat ini, pemerintah terus berupaya menyediakan regulasi menyeluruh untuk implementasinya di lapangan. CCS akan diimplementasikan aturannya, dan ini dalam rangka kita bersaing dengan negara lain untuk mendapatkan peluang penerapan skema karbon sebagai agenda global,” ungkap Ridha.
 
Ketua Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan EBT Didi Setyadi menekankan pentingnya memanfaatkan reservoir karbon yang dimiliki Indonesia untuk kepentingan dalam negeri. Dirinya juga menyoroti tantangan dari sisi ekonomis penerapan teknologi baru ini.
 
"Kita harus mengikuti, mengadopsi,
menerapkan teknologi yang baru itu. Kan di situ harus menambahkan biaya. Nah apakah biaya ini kemudian ekonomis atau tidak ekonomis dibandingkan dengan harga jual listriknya sendiri. Nah itu kan yang jadi persoalan," jelas Didi.
 
Menanggapi hal itu, Nurlely Aman selaku Senior Executive Vice President Hukum, Kebijakan, dan Kepatuhan PT PLN (Persero) menyampaikan komitmen PLN untuk mendukung penerapan teknologi CCS di sektor ketenagalistrikan Indonesia.
 
Namun, Nurlely mengingatkan perlunya memperhatikan implikasi finansial bagi pihak yang bukan pengelola minyak dan gas. Menurutnya, monetisasi depleted well/reservoir yang tidak dimanfaatkan harus dioptimalkan dan regulasi terkait CCS harus ditempatkan dengan tepat, apakah sebagai instrumen penurunan emisi atau tambahan pendapatan negara.
 
Dengan banyaknya masukan dari berbagai pihak, FGD ini diharapkan mampu memberikan wawasan baru dan menjadi masukan berharga bagi pemerintah dalam menyusun regulasi yang mendukung pemanfaatan teknologi CCS untuk mendukung transisi energi di Indonesia. (jpc)
 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan