Sebuah Kutipan Singkat
Ilustrasi Geral Altmannt-PIXABAY-Ilustrasi Geral Altmannt-PIXABAY-
Cuaca malam ini sangat tidak mendukung, membuat semua pekerjaan terasa malas untuk dikerjakan. Padahal, banyak deadline yang harus segera aku kejar, mulai dari tugas kuliah, laporan perusahaan, sampai dengan persiapan meeting rabu besok. ‘Si ambisius’ orang-orang sering memanggilku dengan sebutan itu. Aku seorang pengusaha muda yang selalu merasa tidak puas dengan apa yang ada pada diriku.
Rasanya perutku lapar sekali. Aku meranjak dari tempat duduk menuju dapur. Aku memandang isi tempat persediaan makanan. Terdapat gandum, susu, dan beberapa makanan lainya. Bahkan, di meja makan Bi Dian sudah menyiapkan beberapa hidangan makan malam. Tapi itu semua tidak menarik perhatian perutku yang sangat lapar ini.
“Bi, bisakah Ica meminta tolong?“
Ica adalah panggilan masa kecilku. Dahulu saat usiaku 1 tahun, aku belum mahir dalam pengucapan. Annisa nama panggilanku meleset menjadi Ica. Hingga saat ini nama itu sudah menjadi kebiasaan, terutama saat aku memanggil diriku sendiri.
“Iya Mbak. Ada yang bisa dibantu?“
Bi Dian namanya. Ia yang selalu melayaniku setiap saat. Ia jauh lebih tua dariku. Dengan begitu, aku tetap berusaha bersikap sopan terhadapnya.
“Apa Bibi laper? Aku mau memesan makanan.“ Tanyaku sambil menunjukan beberapa menu di teleponku. “Nah ini. Bi Dian pasti suka.“
“Maaf Mbak. Bibi sudah makan.”
“Ya udah kalau Bibi nggak mau, aku pesen sendiri aja ya?”
Bi Dian membalas dengan anggukan.
Setelah sedikit berbincang dengan Bi Dian aku kembali kekamar untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang kutunda tadi sembari menunggu pesanan datang. Tak lama kemudian terdengar suara bel rumah. Setelah mengambilnya, aku menghabiskan dengan lahap. Dengan perut yang sudah terisi membuatku kembali semangat mengerjakan pekerjaan.
Jam istirahat adalah waktu paling berharga karena dalam 24 jam aku hanya bisa beristirahat 3 sampai 4 jam saja. Hari-hariku penuh dengan aktivitas yang padat.
***
Cahaya matahari masuk menembus tirai kamarku, membuat mata terasa silau. Perlahan aku membuka mata. Aku melihat kearah jam. Oh tidak aku kesiangan. Rasanya seperti baru tidur satu jam. Dengan cepat aku beranjak dari kasur, mengambil handuk untuk mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah.
Yaffa selalu menungguku di taman setiap hari, dan memang aku yang memintanya. Tapi untuk pagi ini aku tidak melihat batang hidungnya. Apakah hari ini ia tidak masuk? Tapi bukankah Yaffa adalah anak ambisius yang tidak pernah mau ketinggalan mata kuliah? Bahkan jika ia sakit pun akan tetap memaksa masuk kuliah, walapun aku sudah menceramahinya.
Aku mencoba menghubunginya. Namun, tidak bisa dihubungi. Ada apa dengan teman ku satu ini? Tidak seperti biasanya. Lalu aku memutuskan untuk masuk ke kelas. Saat langkahku sudah memasuki ruang kelas, tidak ada sosok Yaffa di dalam. Beberapa anak kutanyakan tentang keberadaanya, namun mereka pun tidak melihat. Ah sudahlah. Aku akan menghubunginya kembali nanti.
Namun saat pembelajaran, Yaffa masuk kelas dan meminta maaf kepada dosen karena terlambat. Namun, apa yang membuatnya terlambat masuk kelas?
“Yaff! Lo abis dari mana? Tumben telat masuk?“ Tanyaku bisik-bisik. Ia hanya tertawa kecil. Lalu aku kembali fokus dengan pembelajaran.
***
Jam menunjukan pukul 13.00. Setelah sholat Dzuhur, aku bersama Yaffa pergi kerestoran dekat kampus. Yaffa yang sedang asik dengan teleponnya membuatku kesal.
“Yaff, lo mau pesen apa?“ Tanyaku sambil membuka halaman menu.
Tak ada respon dari Yaffa.