CINTA DI HARI NYEPI
--
Peresensi: Sri Subekti
Trainer Sagusabu, Editor Media Guru Indonesia
CINTA di Hari Nyepi, judul yang sederhana. Namun tak sesederhana isinya. Membaca novel ini tak terbayangkan akan disuguhkan konten dialog yang penuh edukasi. Mulai dari tokoh-tokoh ilmuwan filsafat, ilmuwan barat, Isaac Newton hingga tokoh-tokoh besar Islam Kawarizmi.
Penulis membawa pembaca pada alam milenial yang mengkaji berbagai keilmuan dalam berbagai kondisi yang dialami dalam alur cerita.
BACA JUGA:Omed-Omedan Tradisi Masyarakat Hindu di Bali, Ini Sejarahnya!
Penulis memasukkan edukasi pada diksi yang tepat, tanpa terasa bahwa pembaca akan dibawa pada ilmu yang selayaknya diketahui oleh semua kalangan, bukan hanya para ahli biologi.
"Meski Ibu tak pernah mengenyam bangku kuliah, atau membaca buku-buku ilmiah tentang tips hidup sehat tapi ibuku tahu bagaimana seharusnya menjalani hidup."
Mulailah penulis beraksi dengan membuka paragraf ilmiahnya. "Prinsip ibuku ini ternyata senada dengan apa yang diungkapkan Dr. Shigeo Haruyama, seorang dokter dari Jepang yang mempratikkan pengobatan Timur. Dalam bukunya ...."
BACA JUGA:Aku yang Segera Hilang
Secara halus, penulis mengisi novel bertema cinta ini dengan sajian eleghan. Masih banyak lagi dialog-dialog pencinta yang tidak sekadar roman picisan. Cinta yang tidak didasarkan nafsu, tapi keselarasan. Dasar-dasar cinta yang kokoh dalam kombinasi rasa dan keyakinan. Keyakinan ketuhanan yang tak terkalahkan. Cinta yang tak harus memiliki dijalani dalam lakon kehidupan. Cinta dua sosok manusia yang tak mengungguli cintanya pada Penguasa takdir kehidupan. Kebahagiaan adalah pengabdian.
Kebahagiaan bukan menuruti apa yang menjadi keinginan. Karena baik menurut prasangka manusia tidak berarti baik menurut prasangka Allah.
Sosok Kia yang patut di jadikan teladan dan sosok Wayan yang penuh pengorbanan tak harus dibayar dengan terwujudnya mimpi hidup bersama dalam rumah mewah yang telah disiapkan. Meskipun ada usaha manusia untuk menandakan bahwa manusia harus selalu berusaha, namun tetap berbuat baik dan bangkit dari kesedihan adalah energi dalam novel ini yang selalu ingin mengedukasi pembacanya.
Membaca novel ini tak seperti membaca buku perdana penulisnya. Pembaca disuguhkan pada pilihan diksi yang menarik, dialog yang berbobot dan alur cerita yang tak sederhana. Dialog-dialog ilmiah yang masuk dalam alur cerita dengan apik, pas dan tak terkesan menggurui, tidak mungkin penulis hanya mengutip di berbagai sumber.
Penulis menunjukkan sosok yang gemar membaca dan menurut saya itu tidak mudah. Nyaris tak ada cela termasuk dalam editorial dari penerbitnya.