Pemilu Orde Baru, Sejarah Politik Indonesia
-FOTO ILUSTRASI -JAWA POS-
PEMILU pada masa Orde Baru merupakan momen penting dalam sejarah politik Indonesia. Tiga tahun setelah Soeharto menjabat sebagai Presiden melalui TAP MPR Tahun 1968, pemilu pertama era Orde Baru dimulai. Ada enam kali pemilu sepanjang Orde Baru. Yakni 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pada pemilu 1971 terdapat sepuluh partai politik yang berpartisipasi, Partai Golongan Karya (Golkar) berhasil meraih suara terbanyak. Jumlah peserta Pemilu 1971 mengalami penyusutan signifikan dibandingkan Pemilu 1955, hanya terdapat sembilan partai politik dan satu organisasi kemasyarakatan yang ikut serta. Yakni Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Sekber Golkar yang baru kali pertama kali ikut serta dalam pemilu dan didirikan pada 1964 muncul sebagai pemenang dengan meraih 236 kursi. Prestasinya melampaui partai-partai yang lebih mapan seperti Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
BACA JUGA:Politik, Ekonomi, dan Sosial Masa Reformasi
PNI yang merupakan partai yang dibentuk oleh mantan Presiden Soekarno dan sebelumnya meraih kesuksesan pada pemilu sebelumnya mengalami penurunan drastis dari 57 kursi menjadi 20 kursi. Demikian juga dengan Partai NU yang turun dari 91 kursi pada Pemilu 1955 menjadi 58 kursi. Sementara Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang diharapkan menjadi penerus Partai Masyumi hanya meraih 24 kursi.
Pada Pemilu 1977, jumlah peserta pemilu mengalami penurunan signifikan menjadi hanya tiga partai. Perubahan ini disebabkan oleh penggabungan beberapa partai politik ke dalam dua entitas besar, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Wacana penggabungan partai politik ini sebenarnya telah dimulai sejak akhir tahun 1960-an dengan tujuan awal melibatkan Golongan Spiritualis, Golongan Nasionalis, dan Golongan Karya. Penggabungan akhirnya terwujud pada 1973, di mana beberapa partai Islam seperti Partai NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) digabungkan menjadi PPP.
BACA JUGA:Soal Kerusakan Jalan Turgak-Sukaraja, Pemkab Lambar Dituding Ingkar Janji
Di sisi lain, PNI, IPKI, dan Partai Murba bergabung menjadi PDI. Parkindo dan Partai Katolik memilih bergabung dengan PDI karena enggan bersatu dengan Golkar dan pada saat yang sama tidak mungkin bergabung dengan PPP yang identitasnya lebih terkait dengan Islam. Meskipun terjadi penggabungan, PDI dan PPP tidak mampu menandingi dominasi Golkar pada Pemilu 1977.
Pada Pemilu 1982, kemenangan Golkar tetap tak terhindarkan. Pada Pemilu 1987, Golkar kembali meraih suara tertinggi. Pada Pemilu 1992, seperti pemilu sebelumnya melibatkan tiga partai politik utama, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Dalam kemenangan yang menjadi yang kelima secara berturut-turut sejak 1971, Partai Golkar kembali memenangkan pemilu. Namun, terdapat penurunan suara Golkar dari 73,11 persen pada 1987 menjadi 68,10 persen pada 1992, yang menarik perhatian.
Sementara itu, PPP dan PDI mengalami peningkatan perolehan suara.
Pada Pemilu 1997 menjadi babak penutup dalam rangkaian pemilu masa Orde Baru dengan tetap melibatkan tiga partai utama. Golkar tetap mempertahankan posisi unggulnya dengan meraih 68,10 persen suara, sementara PPP dan PDI secara berturut-turut memperoleh 17 persen dan 14,90 persen suara.
Setelah pemilu, Indonesia dihantam krisis moneter yang merusak perekonomian dan membawa dampak serius pada masalah politik. Ketidakpuasan terhadap pemerintah menjadi semakin jelas diwarnai oleh protes dan tuntutan reformasi yang muncul di tengah masyarakat. Meskipun sebagian besar anggota DPR berasal dari Golkar dan enggan merealisasikan tuntutan reformasi, upaya untuk mempertahankan kekuasaan Soeharto mengalami kegagalan. Krisis ekonomi dan dinamika lainnya pada masa itu membuat ketidakpuasan semakin meluas. Soeharto akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Presiden pada tanggal 20 Mei 1998. (dsb/ful)