Mengejar Mimpi, Menimang Realita

Taufik Wijaya-foto ist-

Sebagian dikelola oleh badan usaha. Sebagian lain diampu oleh pribadi yang belakangan lebih dikenal dengan sebutan influencer atau content creator.

Maka kini masyarakat sangat sulit membedakan informasi valid dengan hoaks. Sebuah informasi dapat dengan cepat beredar dan berubah menjadi viral atau trending topic tanpa proses verifikasi.

Tidak ada lagi proses penyaringan, cek dan ricek serta balancing oleh editor atau redaktur sebelum sampai ke tangan pembaca. Publik dengan entengnya mengabaikan beragam proses yang harus dilalui produk jurnalistik tersebut. 

Saya contohkan, seseorang yang kebetulan menyaksikan sebuah perkelahian dengan mudah menyebarkan kejadian tersebut melalui medsosnya. Ia tidak peduli motif perkelahian tersebut. Ia juga acuh jika video tersebut nantinya bisa memicu konflik horizontal yang mungkin bisa memakan korban.

Mirisnya, media seperti Radar Lampung tidak bisa berbuat banyak. Apalagi kini juga terjadi perubahan generasi. Kini masanya generasi milenial. Nahasnya, mereka tidak terbiasa membaca koran. 

Sementara, generasi baby boomers, X dan Y seolah menolak tua. Mereka tak malu mengikuti aksi generasi milenial memposting foto di Instagram atau mengirim video ke TikTok demi “like” dan “follow” dari para netizen. Perlahan mereka juga melupakan kebiasaan membaca koran.

Hantaman arus teknologi dan perubahan generasi ini belum seberapa. Perubahan lifestyle ini ternyata juga dibaca kalangan pengusaha. Akibatnya, iklan di media cetak semakin minim. Kalangan swasta sekarang lebih gandrung beriklan di platform medsos atau meng-endorse para influencer.

Apa daya, minimnya iklan otomatis membuat pendapatan turun. Sementara biaya operasional malah naik drastis. Harga kertas kini melambung tinggi mengikuti fluktuasi dolar. 

Guna menyiasatinya, perusahaan media terpaksa melakukan efisiensi. Ada yang menaikkan harga koran. Ada pula yang mengurangi jumlah atau ukuran media cetak. 

Para pelaku industri media bak dihadapkan dengan buah Simalakama. Tetap terbit dengan segala konsekuensinya atau tidak lagi terbit. Artinya sama dengan memicu PHK dan mengubur idealisme yang selama ini susah payah dibangun.

Dari dua pilihan itu, Radar Lampung memilih opsi ketiga. Koran ini melakukan inovasi dengan meluncurkan koran hybrid pada medio tahun 2023 lalu. Varian anyar ini menggabungkan kekuatan media konvensional dengan keuntungan digital. 

Platform ini bisa diakses dimana dan kapan saja. Koran hybrid dengan laman radarlampung.bacakoran.co ini bisa diakses dengan beragam jenis perangkat elektronik. Mulai dari ponsel hingga laptop. Yang jelas koran hybrid ini hemat tempat dan biaya.

Terobosan ini melengkapi kesuksesan Radar Lampung sebagai pelopor koran digital pertama di Sai Bumi Ruwa Jurai. Koran hybrid ini diharapkan menjadi salah satu solusi jitu mengatasi permasalahan dasar yang sedang menimpa dunia persuratkabaran dewasa ini.

Namun inti dari semua itu, Radar Lampung terus berupaya memaksimalkan seluruh platform yang tersedia demi selera dan keinginan publik. Namun demikian, sebagai perusahaan pers berpengalaman 23 tahun, Radar Lampung tetap memasang standar tinggi. Mutu semua konten yang diproduksi harus tetap sesuai azas-azas jurnalistik.

Apakah cuma sebatas ini? Tentu tidak. Jiwa fighter para awak Radar Lampung memerlukan tantangan lebih berat lagi. Di bawah arahan Direktur Utama Radar Lampung Hi. Ardiansyah, saat ini semua lini tengah mengejar mimpi baru. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan