Manusia Pilihan
-Ilustrasi Andrea 1597/PIXABAY-
“Gak apa-apa, masih ada jalur lain. Coba lagi, ya,” ucap Ibu yang berusaha menenangkanku.
Kalian pernah merasakan patah hati? Rasanya lebih buruk daripada itu. Tenggorokanku tersekat, dadaku sesak, tubuhku lunglai. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis, merintih, dan bersedih. Seakan duniaku runtuh begitu saja.
***
Matahari bersinar dengan cemerlang, pagi yang cerah dan bergairah. Namun sayang, ada awan kecil yang sedang bergumul dengan kesedihan di sana.
Rasanya malas sekali untuk datang ke sekolah, tapi keadaan memaksaku untuk tetap datang ke tempat ini dan menjawab pertanyaan yang malas sekali untuk kujawab. Kulihat teman-temanku sedang berkerumun di dalam kelas. Ah aku tahu, pasti mereka sedang menghujani Elisa dan Ratna dengan ucapan selamat yang seharusnya juga kudapatkan. Kemarin aku melihat reaction story kedua teman sekelasku itu.
Aku melangkah dengan gontai menuju tempat dudukku yang terletak di barisan nomor dua ujung dekat jendela. Aku duduk dengan muka yang kusut dan mata yang sebam akibat terlalu lama menangis semalam. Semua perhatian teman sekelasku sedang tertuju pada Elisa dan Ratna sehingga tak ada yang menyadari raut mukaku yang mengerut.
“Hei!” suara berat tiba-tiba mengagetkanku dari arah belakang.
Ah, laki-laki itu selalu saja membuat detak jantungku tak beraturan. Laki-laki itu tersenyum manis kepadaku yang sebenarnya malas sekali untuk kutanggapi hari ini.
“Apa?” jawabku dengan ogah-ogahan. Ia menggeser kursi di sebelahku kemudian duduk di sana. Namanya Alfazil Wicakra atau sering kupanggil Alfa. Salah satu siswa eligible sama sepertiku yang juga bernasib sama. Sama-sama ditolak oleh kampus yang sama.
“Kenapa tuh, muka udah kayak panda yang belum makan bambu selama seminggu?” tanyanya dengan nada mengejek. Laki-laki ini pasti sudah tahu alasan mengapa raut mukaku terlihat kusut, tapi sepertinya dia benar-benar hanya ingin mengejekku. Menyebalkan!
Aku sengaja memalingkan muka dan tak menanggapi pertanyaannya karena itu hanya akan semakin merusak suasana hatiku yang sedang tidak baik-baik saja. Sepertinya ia menyadari kalau aku tidak nyaman dengan pertanyaannya.
“Ehm ... Aku tahu kok gimana perasaamu sekarang.” Ia berusaha mengajakku kembali berbicara, tetapi kali ini dengan nada bicara yang serius, bukan mengejek atau sekadar bercanda. Ucapannya membuatku kembali menengok ke arahnya.
“Kamu lupa kalau kita senasib? Aku juga ditolak kali sama itu PTN, enggak cuma kamu doang! Tapi, setelah kupikir-pikir, ada untungnya juga kamu ditolak,” ucap Alfa sembari mengetuk-ngetuk keningnya dengan jari telunjuk, sok berpikir keras.