Dorong Penerapan ESG di Jalan Tol
Dr (Cand). M. Alkautsar, M.M.-Ist-
BANDARLAMPUNG - Pembangunan infrastruktur sering dipahami sebatas investasi teknis, sedangkan dimensi keberlanjutan kerap dianggap hanya pelengkap dokumen administrasi. Padahal, keberlanjutan harus hidup di dalam praktik operasional harian.
Kesadaran tersebutlah yang melatarbelakangi lahirnya karya intelektual “Integrasi ESG Berbasis Kearifan Lokal” oleh Dr (Cand). M. Alkautsar, M.M., seorang praktisi Public Affairs sekaligus peneliti tata kelola keberlanjutan pada industri infrastruktur strategis. Sebagai seorang praktisi yang bergulat langsung dengan dinamika lapangan, Alkautsar menyaksikan bagaimana operasional jalan tol tidak hanya dipengaruhi oleh regulasi dan keuangan, tetapi juga oleh relasi sosial, ekologi, hingga legitimasi publik.
Menurutnya buku ini lahir bukan dari ruang nyaman, melainkan dari pergulatan panjang di lapangan, diskusi akademik, riset tentang kebijakan tata kelola infrastruktur, industri strategis hingga pada tahapan dampak implementasi yang sudah dilakukan. Ia melihat bahwa pembangunan tidak cukup hanya dengan mengejar profit, tetapi harus menjadi jalan etik yang memuliakan kemanusiaan dan lingkungan.
Ia mengatakan ESG (Environmental, Social, and Governance) tidak boleh sekadar menjadi tren global, tetapi harus berakar pada nilai lokal yang sudah dihidupi masyarakat sejak ratusan tahun lalu.
“Indonesia tidak kekurangan nilai luhur untuk membangun keberlanjutan. Yang kita butuhkan adalah cara mengatur, mengintegrasikan, dan mengeksekusinya secara sistematis,” ujar Alkautsar usai peluncuran bukunya berjudul Integrasi ESG Berbasis Kearifan Lokal Dalam Mendukung Operasional Jalan Tol tersebut melalui rilisnya kepada Radar Lampung, Rabu (26/11).
Pengalaman inilah, jelasnya, yang membuat buku ini tidak berdiri di atas teori semata, tetapi pada riset proaktif lapangan yang melihat keputusan teknis harian harus mempertimbangkan dampak lingkungan (Environmental), interaksi sosial masyarakat (Social), dan etika tata kelola (Governance). Lebih dari sekadar kajian operasional, menurutnya naskah ini lahir melalui diskusi bersama para guru besar ekonomi dan ahli infrastruktur strategis, memperkuat kualitas akademiknya sekaligus memantapkan relevansinya bagi pengambil kebijakan. “Pengelolaan jalan tol bukan semata mengalirkan kendaraan, melainkan mengalirkan kepercayaan publik dan menjaga harmoni sosial serta ekologis,” tegas Alkautsar.
Lebih jauh, Al-Kautsar menyebut Gerbang Sumatera & Miniatur Indonesia Ruas Tol Bakauheni – Terbanggi Besar (Bakter) dipilih bukan hanya karena posisi strategisnya dalam jaringan nasional, melainkan karena Lampung merepresentasikan realitas sosial Indonesia. Lampung dikenal sebagai ‘miniatur Indonesia’, tempat seluruh suku, budaya, ras, dan agama hidup berdampingan. "Keberagaman ini menjadikan Lampung sebuah laboratorium sosial, ideal untuk menguji bagaimana pengelolaan infrastruktur dapat memengaruhi relasi antar-masyarakat lintas budaya," tukasnya.
Ia juga mengatakan ada beberapa alasan strategis Bakter sebagai Studi ESG. Antara lain yaitu gerbang utama Pulau Sumatera yang menghubungkan logistik nasional; Termasuk 5 ruas tol terpanjang di Indonesia, dengan pengaruh besar terhadap sosial dan ekologi; Menjadi perhatian investor luar negeri, penerapan ESG sangat menjadi aspek pertimbangan investor untuk memastikan iklim investasi selaras dengan keberlanjutan bisnis; Berada di wilayah multikultur, menjadikan dimensi sosial sama pentingnya dengan teknis; Bersinggungan dengan permukiman, konservasi, dan kawasan ekonomi, menjadikan ESG sebagai prasyarat keberlanjutan operasional.
"Dengan kompleksitas ini, Bakter menjadi model bahwa operasional tol bukan hanya infrastruktur fisik, tetapi simpul peradaban ekonomi, sosial, dan lingkungan," ungkapnya.
Melalui peluncuran bukunya ini, Alkautsar pun menyampaikan beberapa harapan strategisya agar integrasi ESG tidak berhenti pada jargon, tetapi menjadi standar tata kelola infrastruktur nasional. Pertama, menjadi rujukan bagi Kementerian PUPR dan BPJT dalam mendorong implementasi ESG pada seluruh ruas tol Indonesia; Kedua, melibatkan pemerintah daerah secara aktif dalam pengawasan dan implementasi ESG untuk memperkuat keberlanjutan di tingkat wilayah; Ketiga, memberikan stimulus atau insentif bagi ruas tol yang mampu menerapkan ESG secara konsisten sebagai keunggulan operasional; Keempat, mengintegrasikan ESG ke dalam Standar Pelayanan Minimum (SPM) sehingga aspek sosial, lingkungan, dan tata kelola menjadi syarat dasar operasional, bukan tambahan nilai.
"Dengan pendekatan berbasis kearifan lokal, buku ini menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak sekadar adopsi standar global, melainkan harus berakar pada nilai sosial, budaya, dan etika setempat. Karya ini memberi panduan implementasi ESG yang teknis, etis, terukur, dan berorientasi masyarakat," ucapnya seraya menegaskan bahwa keberlanjutan tidak cukup dipahami, ia harus diatur dan dijalankan. (rls/rim)