Bawaslu Ungkap Sejumlah Catatan Penting dari Evaluasi Pengawasan Pilkada Serentak 2024
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja memaparkan hasil evaluasi pengawasan pilkada serentak 2024 dalam rapat evaluasi nasional di Bandung. -FOTO DOK. BAWASLU -
BANDUNG - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja memaparkan hasil evaluasi pengawasan terhadap pelaksanaan pilkada serentak 2024 dalam Rapat Evaluasi Nasional Pelaksanaan Pemilihan Serentak Tahun 2024 yang diselenggarakan oleh KPU di Bandung, Kamis (23/10).
Dalam forum tersebut, Bagja menyampaikan berbagai catatan penting mengenai kendala teknis, keterbatasan akses data, serta tantangan koordinasi antarinstansi yang perlu dibenahi guna memperkuat integritas pemilu di masa mendatang.
Menurut Bagja, Pilkada Serentak 2024 menjadi ujian besar bagi kesiapan lembaga penyelenggara pemilu dalam mengelola pemilihan nasional dan daerah secara bersamaan.
Ia menilai, meskipun pelaksanaan tahapan pemilihan di berbagai wilayah berjalan lancar, sejumlah aspek masih membutuhkan peningkatan. “Penyelenggara pemilu telah menunjukkan kesiapan yang baik dalam menjaga kelancaran seluruh tahapan pemilihan di daerah,” ujarnya.
Dalam paparannya, Bawaslu mencatat adanya praktik baik hasil kerja sama antara penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan, mulai dari pusat hingga pengawas di TPS.
Namun demikian, masih ditemukan sejumlah hal yang perlu diperbaiki, seperti keterlambatan pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) di Mamuju Tengah serta dugaan keterlibatan petugas penyelenggara dalam kegiatan politik yang terdeteksi melalui Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).
Bagja menuturkan, pada tahap pencocokan dan penelitian (coklit), pengawas menghadapi kendala di wilayah terdampak bencana dan daerah perbatasan.
Melalui pengawas tingkat kelurahan dan desa, Bawaslu mendorong agar proses pencocokan data dilanjutkan begitu logistik tersedia kembali, sehingga tahapan pemilu tidak terganggu oleh kondisi lapangan.
Ia menambahkan, dalam penyusunan daftar pemilih tetap (DPT), masih ditemukan data pemilih yang tidak memenuhi syarat namun tetap terdaftar, serta warga yang seharusnya masuk dalam daftar namun belum tercantum.
Tantangan terbesar, kata Bagja, terletak pada terbatasnya akses data akibat kebijakan zero sharing data policy yang diterapkan KPU seiring implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Kebijakan ini membuat Bawaslu tidak dapat mengakses data DP4 maupun daftar pemilih model A, sehingga mempersulit proses verifikasi dan berpotensi menimbulkan data ganda.
“Keterbatasan akses terhadap data pemilih menyebabkan fungsi pengawasan tidak dapat dijalankan secara maksimal. Ke depan, perlu ada kebijakan yang memungkinkan Bawaslu bekerja secara penuh tanpa mengabaikan prinsip perlindungan data pribadi,” tegasnya.
Dalam aspek pengawasan logistik, Bawaslu menemukan adanya perbedaan informasi antara KPU dan pengawas di lapangan.
Beberapa KPU kabupaten/kota disebut belum memberikan jadwal distribusi logistik maupun akses ke akun Sistem Logistik (Silog) KPU. Di sejumlah wilayah, hambatan geografis serta minimnya pengawalan turut memperlambat distribusi dan meningkatkan risiko keamanan terhadap perlengkapan pemungutan suara.
Lulusan Universitas Andalas itu juga menyoroti persoalan keterbatasan akses dokumen dalam Sistem Informasi Pencalonan (Silon) selama tahap verifikasi calon kepala daerah.
Menurutnya, kondisi tersebut menyulitkan pengawas untuk meneliti keabsahan dokumen, termasuk ijazah dan surat keterangan bebas pidana. Ia menilai perlu adanya penegasan hukum terkait syarat calon, termasuk soal batasan masa jabatan kepala daerah agar tidak menimbulkan multitafsir di kemudian hari.
Selain itu, Bawaslu mencatat 212 dugaan pelanggaran pidana pemilihan dan 932 pelanggaran lainnya, terutama yang berkaitan dengan netralitas ASN, kepala desa, dan perangkat desa. Bagja menjelaskan, perbedaan tafsir hukum antarinstansi di Sentra Gakkumdu serta keterbatasan sumber daya di daerah menjadi tantangan utama dalam penanganan kasus tersebut.
“Kami berharap hasil evaluasi ini menjadi dasar perbaikan regulasi dan mekanisme penegakan hukum pemilu. Sinkronisasi antara Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemilihan mutlak diperlukan agar tidak terjadi perbedaan tafsir yang dapat menghambat proses penegakan keadilan,” terang Bagja.
Lebih lanjut, Bagja juga menekankan pentingnya pembenahan sistem digital pemilu serta peningkatan kepatuhan antarpenyelenggara terhadap rekomendasi pengawas. Menurutnya, refleksi dari pengalaman Pilkada 2024 harus menjadi momentum pembelajaran demokrasi untuk mewujudkan pemilihan yang berintegritas dan menghormati hak pilih warga negara.
Rapat evaluasi nasional yang diselenggarakan KPU tersebut mempertemukan berbagai pemangku kepentingan kepemiluan, seperti Bawaslu, Kemendagri, DKPP, serta lembaga terkait lainnya. Forum ini diharapkan dapat memperkuat koordinasi dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu pada periode mendatang. (bwl/c1/abd)