Merawat Kenangan di Kampoeng Gallery

NOSTALGIA: Suasana Kampoeng Gallery di Jakarta yang penuh dengan barang-barang kuno membuat suasana nostalgia. -FOTO ERFAN MARUF/BERITASATU -

JAKARTA – Matahari mulai terbenam di ufuk barat, berganti dengan sorot lampu-lampu kaca di pinggiran kawasan Kebayoran Lama, Jakarta. Di antara lapak para pedagang barang bekas terlihat lapak bertulis “Kampoeng Gallery” yang disambangi beberapa pemuda.
Ketika memasuki lapak terdengar suara bising kereta. Lapak Kampoeng Gallery memang terbilang dekat dengan dengan Stasiun Kebayoran Lama. Saat masuk ke lapak, suasana berubah seolah menyusuri lorong waktu masa lampau. Berbagai koleksi lawas, seperti buku, piringan hitam, kaset, majalah langka, poster, jam-jam antik, kamera lawas, dan perhiasan vintage terpajang rapi sesuai kategori.
Dengan beberapa warna lampu kuning khas dan berbagai hiasan masa lampu, suasana lapak semakin asri. Suasana itulah yang diharapkan Ivan Moningka, pendiri Kampoeng Gallery. Ia mengharapkan suasana kampung yang bisa dinikmati oleh masyarakat di tengah gemerlap Kota Jakarta.
“Saya ingin mengajak masyarakat, khususnya anak muda, untuk menyenangi literasi dengan suasana kampung halaman. Saya ingin ajak mereka tahu bahwa kemajuan teknologi, musik, dan ilmu pengetahuan melalui proses panjang yang tidak bisa dilupakan. Di sini, koleksi-koleksi itu bisa dilihat dan dibeli,” kata Ivan Moningka kepada Beritasatu (jejaring Radar Lampung) saat ditemui beberapa waktu lalu.
Ivan Moningka kemudian mengenang pendirian Kampoeng Gallery. Semua ini berawal dari hobinya sejak remaja, seperti membaca buku, mendengar musik, dan bertualang. Hobinya itu membuat koleksi buku dan kaset terus menumpuk di rumah hingga membuat ruangan rumah menjadi sesak.
Setelah mendapat desakan sang istri atas kondisi rumah yang terlihat kumuh oleh barang-barang kuno, pada 2010 Kampoeng Gallery didirikan. Dengan modal seadanya, Ivan kemudian memilih dan memilah barang yang dapat dijual atau hanya dapat dinikmati di tempat. Jika koleksi hanya ada satu, maka Ivan tidak  akan sudi menjual.
“Saya sortir mana yang layak dijual, mana yang layak saya pertahankan. Akhirnya, saya jual di sini dan yang lain hanya bisa dinikmati sebagai literasi,” ujar Ivan.
Sama seperti usaha pada umumnya, tahun-tahun awal berjalan penuh tantangan. Ivan mengalami kekurangan penghasilan untuk keluarganya. Sebagai mantan karyawan periklanan, Ivan mulai goyah, tetapi dikuatkan oleh sang istri dan ibu.

Karena dedikasi dalam mendirikan Kampoeng Gallery seperti anak kandung, lapak yang awalnya berisi barang-barang yang sebagian besar dimilikinya terus bertambah. Banyak orang yang memiliki barang lawas menghibahkannya ke Kampoeng Gallery.
Dengan semakin bertambahnya barang, Kampoeng Gallery menambah lapak yang notabene milik keluarga Ivan. Bahkan Ivan juga menyewakan tempat untuk orang lain yang memiliki hobi seperti dirinya. Banyak orang muda yang menikmati kehadiran Kampoeng Gallery. Banyak juga yang berusia senja terlihat di lapak Ivan untuk bernostalgia.
Di tengah berkembangnya usaha, Ivan juga menerima kritik dari pengunjung untuk menyediakan makanan ringan dan kopi bertema vintage di Kampoeng Gallery. Ivan menjual beberapa makanan khas kampung sehingga pengunjung dapat membaca buku secara gratis di lokasi sembari menikmati makanan.
“Kami menyediakan masakan tradisional dan juga buku untuk dibaca. Kami menjual nilai yang kuat tentang kampung dan literasi,” jelasnya.
Dia memberdayakan anak muda yang hobi dan mau bekerja untuk mengisi waktu kosong. Remaja perlu diberikan aktivitas yang bermanfaat untuk mengurangi kenakalan mereka.  Dalam beberapa kesempatan, Ivan juga menggelar diskusi dengan komunitas maupun mahasiswa. Baginya, usaha tidak hanya mengenai uang atau materi, juga ada nilai lebih yang harus diusung.(beritasatu/nca)

Tag
Share