UU Cipta Kerja Digugat ke MK

Sidang uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.-FOTO MK -

JAKARTA – Sidang panas di Mahkamah Konstitusi (MK) kembali bergulir, Kamis (11/9).
Sidang membahas uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, atau yang lebih dikenal sebagai UU Cipta Kerja.
Perkara bernomor 112/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), beserta 19 pemohon lain dari kalangan lembaga dan warga biasa.
Mereka menyoroti bagaimana aturan ini, khususnya soal kemudahan dan percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN), justru mengancam hak konstitusional rakyat.
Dipimpin Ketua MK Suhartoyo dan delapan hakim konstitusi lainnya, sidang ini menghadirkan para ahli dan saksi yang blak-blakan mengkritik. Mulai dari hukum neo-liberal dalam UU Cipta Kerja hingga dampak buruknya terhadap buruh dan masyarakat lokal, semuanya dibedah tuntas.
Herlambang P. Wiratraman, dosen hukum tata negara Universitas Gadjah Mada sekaligus Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial, jadi salah satu bintang di persidangan ini.
Menurut Herlambang, UU Cipta Kerja dibentuk dalam kerangka neo-liberal yang memprioritaskan pasar bebas.
“Prosesnya butuh demokrasi yang disiplin untuk menyuntikkan reformasi hukum yang ramah pasar, atau yang disebut ‘market friendly legal reform’. Ini dikemas dengan narasi seperti hak asasi manusia, good governance, akses keadilan, dan program pengurangan kemiskinan,” paparnya.
Namun ironisnya, kebijakan ini justru meliberalisasi pasar tenaga kerja, pengadaan tanah, dan memberi keuntungan maksimal bagi investor.
Akibatnya? Buruh Indonesia yang sudah surplus tenaga kerja semakin rentan PHK massal. “Ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28D ayat 2 UUD 1945, yang menjamin hak atas pekerjaan layak dan perlakuan adil,” tegas Herlambang.
Ia juga menyoroti Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai komoditas untung bagi pemodal, yang sering mengorbankan hak warga demi “kemudahan dan percepatan”. Bukan rahasia lagi, era reformasi ini dipengaruhi lembaga seperti Bank Dunia dan IMF, plus oligarki politik yang semakin kuat di Indonesia.
Tak ketinggalan, Dianto Bachriadi, Peneliti Senior Agrarian Resource Center (ARC), ikut angkat bicara.
Ia mengingatkan bahwa setiap kebijakan pembangunan harus selaras dengan Pembukaan UUD 1945: memajukan kesejahteraan umum, keadilan sosial, dan melindungi bangsa. “Segala bentuk pembangunan, termasuk PSN dalam UU Cipta Kerja, harus merujuk norma konstitusi,” katanya.
Dianto menelusuri sejarah PSN, yang awalnya hanya diatur lewat Perpres seperti Nomor 3/2016 hingga 109/2020, lalu naik kelas jadi undang-undang via UU Cipta Kerja 2020 dan PP 42/2021.
Sayangnya, aturan ini lahir dari penafsiran sepihak presiden tanpa definisi jelas soal “nilai strategis nasional”.
“UU Nomor 6 Tahun 2023 cuma bicara percepatan PSN untuk investasi, tapi makna substantifnya hilang,” kritiknya.
Ia bahkan mengutip filsuf Gustav Radbruch untuk menilai apakah konsep ini sesuai UUD 1945 pasca-amandemen.
Cerita pilu datang dari saksi Sukri, warga Rempang yang terdampak langsung PSN Rempang Eco City. “Hidup kami dulu sejahtera, tapi sekarang menurun drastis. Ada intimidasi dari pemerintah dan polisi,” curhatnya.
Proyek ini dimulai tanpa informasi, konsultasi, atau partisipasi warga. Hasilnya? Penggusuran paksa, konflik, dan kriminalisasi. Lebih dari 1.000 aparat dikerahkan dengan 60 kendaraan taktis, plus gas air mata yang bikin 10 siswa dan satu guru SMP sakit. Bahkan, seorang warga bernama Siti Hawa jadi korban kekerasan karena menolak.
Para pemohon menilai UU Cipta Kerja menggerus prinsip negara hukum di Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Frasa seperti “penyesuaian peraturan” dan “kemudahan percepatan PSN” dianggap kabur, membuka celah pembajakan kepentingan politik dan menutup partisipasi publik.
Pasal-pasal lain seperti 123 angka 2, 173 ayat 2-4, hingga 34A ayat 1-2 juga dipersoalkan karena membajak konsep kepentingan umum di Pasal 33 UUD 1945.
Mereka berharap MK menyatakan ketentuan ini bertentangan dengan konstitusi dan tak mengikat. Ini bukan sekadar gugatan, tapi menurut mereka sebagai perjuangan lindungi hak konstitusional warga negara dari dampak neo-liberalisme. (disway/c1/yud)

Tag
Share