RAHMAT MIRZANI

Panda Kecil

foto pixabay-foto ilustrasi-

Netra jelaga miliknya menatap kosong. Cahaya yang selama ini berbinar di matanya seketika redup dan perlahan menghilang. Ethan berusaha menutupi rasa sakitnya dengan senyum pahit. Tentu saja Lea menyadari kejanggalan itu. Iris mata Ethan menatapnya dengan ambigu. "Mau cerita?" Ethan lalu menengok tatkala suara madu itu menyapa pendengarannya. Lea tersenyum manis, walau mata tidak bisa berbohong. Lea khawatir.

Lea merasa seperti mempunyai ikatan erat dengan Ethan. Ethan orang yang mudah ditebak dan lumayan ekspresif. Lea selalu tahu perubahan mood dan perilaku Ethan.

"Gue ke kelas duluan." Hampa, tidak seperti Ethan biasanya. 

"Jangan bersikap seolah-olah kita udah kenal lama, Le. Lo orang baru di hidup gue. Jangan ikut campur." Ethan mendadak dingin. Aura mencekam seolah-olah menguar dari tubuhnya. Wajah Ethan tampak kalut sambil menatapnya dengan nyalang.

"Live for the applause? Huh, stupid." Lea tertawa miring. "Kenapa? Nilai lo kecil? Muka lo jerawatan? Atau karena bokap lo yang mau pensiun? Semua kemungkinan bisa muncul karena sikap lo yang selalu ngarep validasi orang." Mungkin akan ada perang besar untuk pertama kalinya dalam pertemanan mereka. Ethan lalu berbalik. Tiga garis lurus tampak di dahinya. Tanda bahwa sang pemuda tidak mengerti maksud dari si gadis.

"Well, oke. Kita memang belum kenal lama. Tapi gue tahu semua kebiasaan buruk lo yang selalu haus akan pujian." Lea berdecap. "Jangan pancing gue untuk bertindak tegas, Le. Gue gak main-main." 

"Oh, lo pikir gue main-main?" Lea seperti bensin yang memancing kobaran lebih besar. Bola mata Ethan memerah dan urat lehernya menyembul keluar. Tatapannya menukik tajam ke arah Lea yang disambut dengan hal serupa. Sengit. Sengit sekali. Api dengan api. Mereka seperti tidak bisa mengenali satu sama lain. 

"Gue capek, Le." Tanpa diduga-duga. Tangis Ethan pecah. Bulir air matanya menyentuh ujung sepatu Lea. Lea hanya bisa mematung, tangannya luruh lemas. Badannya kaku, bingung ingin bereaksi seperti apa. Sedangkan Ethan masih saja menunduk, melampiaskan segala emosi yang selama ini ia pendam. Lea lalu mendekat lalu memegang bahu rapuh itu. Ia memeluk dan mengusap dengan lembut punggung ringkih tersebut.

Ethan lalu melonggarkan pelukan, "Maaf." Kata yang terbilang singkat, tetapi sukar untuk diucapkan kala bibirnya ikut bergetar menahan tangis. Lea lalu menangkup rahang Ethan, "Udah cukup, ya. Jangan berharap sama orang lain lagi. Lo berhak bahagia dengan cara lo sendiri." Yang Lea katakan benar. Ethan bukanlah badut yang bertugas menghibur mereka dengan segala kekonyolannya. Ethan hanyalah manusia biasa. 

Lea lalu menggulung lengan jaket milik Ethan yang selalu bisa ia kenali. Di situ terpampang nyata bukti perjuangan Ethan untuk hidup dan menggerus kewarasan selama ini. Ethan lalu membolakan matanya terkejut, "Le..." Lea mengelus lengan dengan garis cembung itu menatapnya nanar. Entah sudah berapa banyak air mata yang tumpah sudah berapa banyak darah yang terbuang hingga sudah berapa banyak teriakan lelah dari ranum Ethan. 

Lea selama ini sudah tahu dan selalu mengamati gerak-gerik Ethan. Ia hanya menunggu kapan kira-kira Ethan mau berkeluh kesah kepadanya. Hari inilah puncaknya. Puncak dari letihnya mereka. Menahan semua perih di hati lalu akhirnya memuntahkan segala pedih yang dirasa. "Jangan nyakitin diri lo lagi, Than. Masalah lo masalah gue juga. Jadi tolong, cerita ke gue aja dan jangan lampiasin ke diri lo." Lea memohon dengan sangat, menatap Ethan penuh harap. Berusaha meyakinkan bahwa ia akan selalu ada di sisinya.

 

~~~~~~

 

Di sinilah mereka. Duduk di rooftop sekolah sambil duduk memandang langit sore. Mereka sudah berdamai dengan persoalan tadi. Semua harus bisa melupakan masa lalu dan menatap masa depan yang menanti. Ethan akan berusaha mengubah pola pikirnya yang konyol. Berharap pada orang lain adalah seni sempurna untuk sakit hati. 

Tag
Share