Pertumbuhan Ekonomi Eropa Nyaris Mandek Tertekan Tarif AS

Bank Sentral Eropa di Frankfurt, Jerman. -FOTO BERITASATU.COM -

JAKARTA - Perekonomian Eropa hanya tumbuh tipis pada kuartal II 2025, tertekan oleh kebijakan tarif baru Amerika Serikat (AS) dan melemahnya kinerja negara-negara besar seperti Jerman dan Italia.
Dilansir dari beritasatu.com, data Badan Statistik Uni Eropa, Eurostat, yang dirilis Rabu (30/7) menunjukkan produk domestik bruto (PDB) di 20 negara pengguna mata uang euro hanya naik 0,1% dibanding kuartal sebelumnya. Secara tahunan, pertumbuhan mencapai 1,4%.
Prospek ke depan juga diprediksi suram menyusul diberlakukannya tarif impor sebesar 15% untuk barang Eropa di AS berdasarkan kesepakatan dagang UE-AS yang diumumkan pekan lalu.
Kenaikan tarif ini diperkirakan akan menekan ekspor Eropa karena biaya tambahan harus ditanggung konsumen AS atau menggerus keuntungan perusahaan Eropa.
Kinerja ekonomi Eropa anjlok setelah pada kuartal I 2025 mencatat pertumbuhan sebesar 0,6%. Lonjakan tersebut terutama dipicu upaya perusahaan-perusahaan mempercepat pengiriman barang sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan gelombang baru tarif tambahan pada 2 April 2025, dua hari setelah kuartal I berakhir.
Secara terperinci, Jerman dan Italia masing-masing mencatat kontraksi 0,1%, sementara Prancis tumbuh 0,3% berkat meningkatnya persediaan mobil dan pesawat, meski permintaan domestik stagnan. Spanyol menjadi satu-satunya negara besar di zona Euro yang mencatat pertumbuhan kuat, yakni 0,7%.
 “Dengan tarif universal 15% dari AS yang kemungkinan akan mengurangi sekitar 0,2% dari PDB kawasan, pertumbuhan diperkirakan tetap lemah sepanjang sisa tahun ini,” kata Franziska Palmas, Senior Ekonom Eropa di Capital Economics.
Khusus Jerman, ekonom menilai negara tersebut menghadapi tantangan lebih berat dibanding ekonomi besar lain. Ekonomi Jerman saat ini masih setara dengan ukuran sebelum pandemi enam tahun lalu.
Sektor ekspor yang menjadi tulang punggungnya tertekan oleh meningkatnya persaingan dari China, kekurangan tenaga kerja terampil, harga energi tinggi, minimnya investasi infrastruktur, serta regulasi dan birokrasi yang rumit. (beritasatu/c1/yud)

Tag
Share