Data Penduduk RI Dikelola AS, Jangan Sampai Kedautalan Diacak-Acak Asing!

Wakil Ketua Komisi I DPR Sukamta. -foto Ricardo/JPNN-
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta berharap tim negosiator dari Indonesia tidak mudah menyetujui transfer data ke Amerika Serikat (AS) apabila tanpa adanya jaminan perlindungan hukum.
"Terutama, karena AS belum memiliki undang-undang perlindungan data di tingkat federal yang seperti GDPR di Eropa, yang ada hanya UU PDP di beberapa negara bagian AS," ungkap Sukamta melalui layanan pesan, Sabtu (16/7).
Adapun, transfer data warga Indonesia ini menjadi bagian dari kesepakatan pemerintahan Donald Trump agar AS menerapkan tarif impor 19 persen ke Indonesia.
Sukamta mengatakan tim negosiator harus memahami urusan transfer data bagi Indonesia bukan sekadar isu perdagangan, melainkan terkait kedaulatan.
"Menyangkut kedaulatan digital, keamanan nasional, dan keadilan ekonomi," kata legislator Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Ia mengatakan urusan transfer data lintas negara wajib tunduk terhadap UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), terutama dalam Pasal 56.
Diketahui, Pasal 56 menyatakan soal perlindungan hukum timbal balik, termasuk hak audit bagi otoritas Indonesia ketika melakukan transfer data.
"Jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi, Pengelola Data Pribadi harus memeroleh izin dari para subjek data untuk dilakukan CBDT (Cross Border Data Transfer, red)," lanjut Sukamta.
Anggota Legislator dari Dapil Yogyakarta itu mendorong tim negosiator Indonesia memahami konteks UU PDP bila memasukkan transfer data ke AS sebagai bagian kesepakatan tarif.
Intinya, para negosiator bisa merundingkan persoalan transfer data sesuai dengan UU PDP.
Satu di antaranya, lanjut Sukamta, perlu menegaskan kedaulatan dalam perjanjian, guna memastikan data warga berada dalam yurisdiksi hukum nasional, bahkan ketika diproses di luar negeri.
Senada, Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin meminta pemerintah berhati-hati terkait transfer data pribadi dalam kesepakatan dagang Indonesia dan AS. Dia mengingatkan agar kedaulatan Indonesia tidak diintervensi pihak asing.
"Menurut UUD 1945 pasal 28H ayat 4, 'Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun'. Jadi tidak boleh sembarangan soal data pribadi," ujar Hasanuddin, Jumat (25/7).
Ia menyoroti Pasal 56 ayat (2) UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang mensyaratkan negara tujuan transfer data harus memiliki perlindungan hukum setara atau lebih tinggi dari Indonesia.
Menurutnya, AS belum memiliki aturan komprehensif seperti GDPR Uni Eropa.
Hasanuddin menegaskan pemerintah harus transparan dan hati-hati dalam kerja sama yang melibatkan data pribadi. "Jangan sampai kedaulatan Indonesia diacak-acak asing," tegasnya.
Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan kesepakatan dengan AS tetap mengacu pada UU PDP.
"Terkait data pribadi, sudah ada regulasinya di Indonesia. Mereka hanya akan ikut protokol yang disiapkan Indonesia, seperti di Nongsa Digital Park," kata Airlangga, Jumat (25/7).
Airlangga menjelaskan data yang diproses bukan data pemerintah, melainkan data yang diunggah masyarakat saat menggunakan layanan digital.
"Tidak ada pertukaran data antarpemerintah, melainkan data yang telah mendapat persetujuan dari pemiliknya," jelasnya.(*)