Ekonom Dorong Pemerintah Perkuat Penerimaan Negara untuk Kendalikan Defisit APBN 2025

Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyoroti pentingnya reformasi fiskal untuk menjaga keberlanjutan anggaran negara. -FOTO IST -

JAKARTA – Pemerintah diminta segera memperkuat penerimaan negara agar pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diproyeksikan mencapai 2,78 persen dari produk domestik bruto (PDB) tidak membebani keberlanjutan fiskal jangka panjang.
Ekonom dari UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menekankan upaya peningkatan pendapatan negara perlu segera dilakukan melalui sejumlah langkah strategis.
“Pertama, perluasan dan pendalaman basis pajak sangat krusial, terutama dari sektor digital, jasa profesional, serta kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi,” kata Achmad, dikutip di Jakarta, Kamis (22/7).
Langkah kedua, menurutnya, adalah optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), khususnya dari sektor sumber daya alam dan pertambangan mineral dan batu bara (minerba).
Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya mengevaluasi kebijakan insentif pajak yang selama ini menggerus potensi penerimaan. Achmad menyebutkan bahwa belanja perpajakan Indonesia saat ini mencapai Rp372 triliun, namun banyak yang tidak efektif dan tidak tepat sasaran.
Ia juga mengingatkan bahwa berbagai program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan inisiatif Koperasi Desa Merah Putih, perlu didukung dengan sumber pendapatan baru yang berkelanjutan.
“Untuk tahap awal, MBG memerlukan dana sekitar Rp71 triliun, dan jika diterapkan secara nasional bisa menembus Rp400 triliun. Tanpa reformasi pajak dan efisiensi belanja, hal ini berpotensi meningkatkan beban utang,” ujarnya.
Achmad juga menegaskan pentingnya menjaga disiplin fiskal. Ia menyarankan pemerintah agar dalam jangka menengah menurunkan target defisit di bawah 2 persen, serta melakukan penataan ulang terhadap struktur belanja negara.
“Pengeluaran yang tidak memberikan dampak ekonomi signifikan, seperti belanja seremonial kementerian/lembaga, proyek-proyek simbolik, maupun program yang tidak produktif, sebaiknya dikurangi atau dihentikan,” jelasnya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya menjaga kesinambungan fiskal, mengingat pembiayaan defisit melalui utang akan menimbulkan beban pembayaran bunga dan pokok yang terus meningkat ke depannya.
“Jika ketergantungan terhadap utang terus berlanjut, maka risiko terhadap keberlanjutan fiskal akan semakin besar,” tegas Achmad.
Menurut data yang disampaikannya, pendapatan negara pada 2025 diprediksi hanya mencapai Rp2.865,5 triliun atau sekitar 95,4 persen dari target awal sebesar Rp3.005,1 triliun. Hal ini berkontribusi terhadap pelebaran defisit anggaran.
Lebih lanjut, ia mencatat bahwa total utang pemerintah per 2024 telah mencapai Rp10.269 triliun atau sekitar 40,19 persen dari PDB, dengan rasio pajak (tax ratio) stagnan di kisaran 9–10 persen.
“Memang rasio utang kita masih di bawah batas Maastricht Treaty yang menetapkan 60 persen, tapi tax ratio kita jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara OECD yang memiliki tax ratio di atas 25 persen. Ini menunjukkan kemampuan kita dalam membayar utang jauh lebih terbatas,” pungkasnya.
Sebelumna, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 diperkirakan berada di angka 2,78 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Informasi ini ia laporkan kepada Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan yang berlangsung di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/7).
Pertemuan tersebut membahas perkembangan terkini mengenai pembahasan APBN 2024 dan evaluasi awal terhadap APBN tahun anggaran 2025.
“Proyeksi defisit APBN 2025 mencapai 2,78 persen dari PDB. Hal ini disebabkan oleh faktor penerimaan negara serta belanja negara,” jelas Sri Mulyani dalam keterangan pers di lokasi yang sama.
Ia menambahkan bahwa agenda pembahasan difokuskan pada dua hal utama: Rancangan Undang-Undang mengenai Pelaporan dan Pelaksanaan APBN 2024 yang kini tengah digodok bersama Badan Anggaran DPR, serta evaluasi semesteran atas pelaksanaan APBN 2025.
Dalam proses pengelolaan keuangan negara tersebut, Kementerian Keuangan terus berkomitmen menjaga transparansi dan akuntabilitas, salah satunya dengan menargetkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan pemerintah pusat.
Sri Mulyani juga menekankan bahwa meski dihadapkan pada tekanan fiskal, pemerintah tetap berkomitmen menindaklanjuti rekomendasi hasil audit dan menjaga keberlanjutan fiskal yang sehat dan kredibel.
Sebelumnya, Menkeu melaporkan bahwa pelaksanaan anggaran tahun 2024 menunjukkan hasil positif dan terkendali. Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, ia mengungkapkan bahwa defisit APBN 2024 tercatat sebesar 2,30 persen dari PDB—masih dalam batas aman kebijakan fiskal.
Rasio penerimaan negara terhadap PDB pada 2024 bahkan mencapai 12,70 persen, melebihi target 12,27 persen. Pendapatan negara pun terealisasi melampaui target, dan indeks efektivitas kebijakan fiskal serta pengawasan penerimaan negara juga berada di atas target yang ditetapkan, mencerminkan peningkatan kinerja dan dampak positif bagi masyarakat.
Sebelumnya, Pemerintah dan Badan Anggaran (Banang) DPR menyepakati postur awal belanja negara dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Dalam pembahasan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEMPPKF), total belanja negara tahun depan berada pada kisaran Rp3.800 triliun hingga Rp3.820 triliun.
Ketua Banang DPR Said Abdullah menjelaskan angka tersebut masih berada dalam rentang asumsi yang telah disepakati bersama pemerintah.
’’Belanja APBN kita tahun depan itu sekitar Rp3.800 triliun sampai Rp3.820 triliun, masih dalam range asumsinya,” ujar Said kepada awak media di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/7).
Meski begitu, Said menegaskan angka resmi baru akan ditentukan dalam nota keuangan dan RAPBN 2026 yang akan disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 15 Agustus 2025.
Menurut Said, Banang DPR tidak dapat mendahului penyampaian resmi karena menyangkut detail angka belanja yang krusial.
’’Sekarang yang dibahas hanya posturnya saja. Angkanya belum muncul di Badan Anggaran. Walaupun kita punya gambaran, tetap harus menunggu nota keuangan karena ini menyangkut angka,” jelas Said.
Sebagai perbandingan, dalam nota keuangan 2025, total belanja negara ditetapkan sebesar Rp3.613,1 triliun yang terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.693,2 triliun dan transfer ke daerah Rp919,9 triliun.
Adapun dalam RAPBN 2026, belanja negara dipatok pada kisaran 14,19% hingga 14,83% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara pendapatan negara diproyeksikan mencapai 11,71% sampai 12,31%, dengan defisit anggaran berkisar 2,48% hingga 2,53% dari PDB.
Rangkaian asumsi makro yang mendasari penyusunan RAPBN 2026, antara lain, pertumbuhan ekonomi 5,2%–5,8%, inflasi 1,5%–3,4%, dan nilai tukar rupiah Rp16.500–16.900 per dolar AS. Pemerintah juga menargetkan penurunan tingkat kemiskinan menjadi 6,5%–7,5% dan kemiskinan ekstrem ke kisaran 0%–0,5%.
Asumsi Makro Ekonomi 2026, pertumbuhan ekonomi 5,2%-5,8%; inflasi 1,5%-3,4%; kurs USD Rp16.500-Rp16.900; tingkat suku bunga SBN 10 tahun 6,6%-7,2%; harga minyak mentah Indonesia USD60 sampai USD80 per barel; lifting minyak bumi 605.000 sampai 620.000 barel per hari; lifting gas bumi 953.000 sampai 1.017.000 barel per hari; tingkat kemiskinan 6,5% hingga 7,5%; kemiskinan ekstrem 0%-0,5%; rasio gini 0,377-0,380; dan tingkat pengangguran terbuka 4,44-4,96.
Kemudian indeks modal manusia 0,57; indeks kesejahteraan petani 0,7731; proporsi penciptaan lapangan kerja formal 37,95; pendapatan negara 11,71%-12,31%; perpajakan 10,08-10,54%; PNBP 1,63%-1,76%; hibah 0,002%-0,003%; belanja negara 14,19%-14,83%; belaja pemerintah pusat 11,41%-11,94%; transfer ke daerah 2,78%-2,89%; keseimbangan primer (0,18)-(0,22); defisit (2,48)-(2,53); dan pembiayaan 2,48-2,53. (ant/c1/abd)

Tag
Share