Garuda Dikabarkan Bakal Beli 50 Pesawat Boeing dari AS

BELI: Ekonom mewanti-wanti soal rencana pembelian 50 pesawat Boeing sebagai bagian dari nego tarif impor AS.-FOTO DOK. GARUDA INDONESIA -

JAKARTA - Rencana PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. untuk membeli 50 pesawat Boeing dari Amerika Serikat (AS) kembali menjadi sorotan publik.
Isu ini mencuat di tengah penurunan tarif dagang resiprokal AS terhadap produk Indonesia, dari sebelumnya 32 persen menjadi 19 persen.
Namun, ekonom mengingatkan keputusan tersebut perlu dikaji secara matang karena berpotensi menimbulkan tekanan keuangan baru bagi maskapai nasional dan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia.
Presiden AS Donald Trump dalam unggahannya di platform Truth Social menyebut bahwa Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk membeli produk asal AS senilai lebih dari USD20 miliar, termasuk energi, produk pertanian, dan puluhan unit pesawat Boeing.
“Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Indonesia telah berkomitmen untuk membeli 50 pesawat Boeing Jet, banyak di antaranya adalah 777,” tulis Trump, dikutip Senin 21 Juli 2025.
Meski pernyataan Trump terkesan mengonfirmasi transaksi besar tersebut, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa pembelian pesawat Boeing oleh Garuda Indonesia masih dalam tahap nota kesepahaman (MoU) dan belum memasuki tahap kontrak resmi.
Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, yang menjelaskan bahwa pembelian pesawat belum sepenuhnya dikunci.
“Yang untuk Garuda kan belum tanda tangan, yang baru tanda tangan itu sektor energi dan pertanian seperti kedelai dan gandum,” ujarnya di Jakarta, Jumat 18 Juli 2025.
Menurutnya, Garuda masih perlu melakukan evaluasi bisnis internal sebelum menindaklanjuti pembelian tersebut. Ia menekankan bahwa transaksi semacam ini tidak bisa dipaksakan dan harus berdasarkan pertimbangan bisnis yang saling menguntungkan.
Pakar kebijakan publik dan Ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai rencana ini bisa menjadi “tiket” menuju krisis baru jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Ia meragukan kesiapan keuangan Garuda untuk melakukan pembelian sebesar itu, mengingat kondisi keuangan perusahaan yang masih rapuh.
“Jika harga rata-rata Boeing 737 MAX dan 787 Dreamliner berkisar USD 120–150 juta per unit, maka pembelian 50 unit membutuhkan dana sekitar USD 6–7,5 miliar atau Rp 96–120 triliun,” ujar Achmad.
Jumlah ini, lanjutnya, tiga kali lipat dari anggaran belanja modal Kementerian Perhubungan 2025 dan hampir 20 persen dari APBN sektor infrastruktur transportasi nasional.
Lebih lanjut, Achmad menyebutkan bahwa kondisi ekuitas Garuda masih negatif pasca restrukturisasi, dengan arus kas operasional yang sangat tipis. Ia menilai pembelian dengan skema finance lease maupun operating lease akan memperparah beban keuangan Garuda.
“Skema operating lease memang menghindari belanja awal, tapi tetap menciptakan beban kewajiban rutin. Finance lease apalagi, itu memperbesar utang di neraca,” paparnya.
Sebagai alternatif, Achmad menyarankan opsi pembelian bersama (joint procurement) dengan maskapai lain di kawasan ASEAN. Namun, ia mengakui bahwa kesiapan kelembagaan kawasan untuk skema semacam ini masih rendah.
Senada, Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, mengingatkan bahwa pembelian produk besar dari AS seperti pesawat Boeing bisa berdampak pada penurunan daya tawar ekspor Indonesia. Menurutnya, Indonesia masih sangat tergantung pada pasar AS untuk sejumlah komoditas penting.
“Misalnya impor kedelai dari AS mencapai USD 1,249 miliar dengan rasio ketergantungan 89 persen. Butana cair bahkan mencapai ketergantungan 54,1 persen,” ungkap Tauhid.
Ia menilai bahwa kebijakan perdagangan seperti ini harus dibarengi dengan strategi peningkatan ekspor agar tidak memicu ketimpangan dan defisit neraca perdagangan. “Kita jangan hanya menjadi pasar. Harus ada perjanjian dagang yang saling menguntungkan,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri BUMN dan COO Badan Pengelola Investasi Danantara, Dony Oskaria, menyatakan bahwa rencana pembelian ini sebenarnya sejalan dengan arahan pemerintah dan merupakan bagian dari strategi negosiasi dagang dengan AS.
“Yang penting, sudah sesuai dengan rencana pemerintah. Tapi soal teknisnya, tanya ke Dirut Garuda, karena mereka pasti punya rencana kerja,” ujar Dony.
Dony juga menekankan pentingnya koordinasi lintas sektor agar pembelian ini benar-benar memberikan keuntungan ekonomi dan tidak menimbulkan beban fiskal jangka panjang. (disway/c1/yud)

Tag
Share