Pemerintah Masih Kaji Putusan MK soal Pemisahan Pemilu, Tito: Jangan Terburu-buru Ambil Kesimpulan

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di kompleks parlemen, Rabu (2/7), menyatakan pemerintah masih mengkaji putusan MK terkait pemisahan pemilu. -FOTO IST -

JAKARTA – Pemerintah masih melakukan kajian mendalam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah. Putusan ini menuai pro dan kontra di berbagai kalangan, termasuk dari partai politik.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan bahwa pemerintah belum mengambil sikap resmi terkait putusan tersebut. Kajian masih dilakukan secara internal lintas kementerian.
“Kita masih mengkaji. Nanti akan dirapatkan antar instansi, termasuk Kementerian Sekretariat Negara, Kemenkumham, dan Kemenko Polhukam, karena ini menyangkut urusan politik dan regulasi kepemiluan,” ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (2/7/2025).
Menurut Tito, kajian tersebut akan mencakup aspek konstitusionalitas, analisis dampak, serta implikasi politik dan administratif terhadap pelaksanaan pemilu ke depan.
“Kita akan lihat apakah putusan ini sejalan dengan konstitusi, dampak positif-negatifnya seperti apa, dan langkah apa yang akan diambil ke depan,” katanya.
Tito menekankan agar semua pihak tidak terburu-buru menyimpulkan sikap pemerintah. “Jangan berasumsi dulu. Bisa jadi jebakan kalau kesimpulan diambil terlalu cepat. Jadi beri waktu untuk kami kaji dulu,” ucapnya.
Ia juga menolak menjelaskan detail hasil rapat koordinasi sebelumnya dengan DPR dan KPU, dengan menyarankan agar pertanyaan diarahkan ke peserta rapat lainnya. “Sudah ada rapatnya kemarin, teman-teman wartawan juga tahu. Tanya saja ke yang hadir,” ujar Tito.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa pemilu nasional dan daerah akan dilaksanakan secara terpisah mulai 2029. Pemilu nasional meliputi pemilihan DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Sementara pemilu daerah meliputi pemilihan DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan walikota.
Wakil Ketua MK Saldi Isra menegaskan bahwa model pemilu kepala daerah tetap konstitusional. Putusan ini diambil untuk mencegah tumpang tindih antara isu nasional dan daerah serta memberi waktu yang cukup bagi rakyat mengevaluasi kinerja pejabat terpilih.
“Dalam praktik sebelumnya, pemilu yang berdekatan waktunya mengakibatkan rakyat sulit menilai kinerja pemimpin. Isu pembangunan daerah juga kerap tenggelam oleh narasi politik nasional,” demikian pertimbangan Mahkamah.
Gugatan terhadap sistem pemilu serentak ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dengan alasan efektivitas dan kualitas demokrasi yang perlu diperbaiki.
Pemerintah berencana berdialog dengan DPR setelah kajian internal selesai dilakukan. ( Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menekankan pentingnya Indonesia memiliki sistem pemilu yang melembaga dan berkelanjutan. Hal ini disampaikannya menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal.
“Kami melihat bahwa kita perlu sistem pemilu yang ajeg dan berkesinambungan. Jika setiap periode pemilu sistemnya terus berubah, maka kita tidak akan memiliki fondasi demokrasi yang kuat,” ujar Bima Arya di Badung, Bali, Sabtu (5/7/2025).
Dalam putusan MK tersebut, pemilu untuk DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden akan dipisahkan pelaksanaannya dari pemilu untuk DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur). Sistem pemilu serentak seperti pada 2024 yang menggunakan lima surat suara, tidak akan lagi diberlakukan pada 2029.
Mahkamah menyebut pemisahan ini dilakukan karena belum adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Bima Arya menegaskan, pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang saat ini telah memproses revisi UU Pemilu. “Proses revisi ini sudah berjalan, terlepas dari adanya putusan MK. Namun demikian, putusan tersebut kini sedang kami kaji agar revisi UU Pemilu tetap sejalan dan tidak bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya.
Meski demikian, Bima belum menyatakan apakah pemerintah setuju atau tidak dengan substansi putusan MK. Ia mengatakan fokus saat ini adalah melakukan kajian dan sinkronisasi substansi putusan dengan proses revisi yang tengah berlangsung.
“Belum ada kesimpulan. Ini masih tahap awal pengkajian. Kami berharap putusan MK bisa selaras dengan konstitusi,” ujarnya.
Ia juga menilai pemisahan pemilu ini muncul dari perbedaan pandangan tentang rezim pemilihan. MK menafsirkan pilkada dan pemilu sebagai satu rezim, sementara sebagian kalangan beranggapan sebaliknya.
“MK menafsirkan bahwa pilkada dan pemilu itu satu rezim. Namun banyak pihak berpendapat bahwa keduanya merupakan rezim yang berbeda, sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal turunan dari UUD 1945,” pungkas Bima Arya. (disway/jpnn/c1/abd)

Tag
Share