Senator Paul Finsen Kritik Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah: Bisa Picu Pemborosan dan Jual Beli

Senator asal Papua Barat Daya Paul Finsen Mayor menilai putusan MK soal pemilu bisa picu pembengkakan anggaran dan praktik politik transaksional. -FOTO IST/JPNN -

JAKARTA – Anggota Komite I DPD RI Paul Finsen Mayor menyatakan keprihatinannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah. Ia menilai putusan tersebut berpotensi menimbulkan berbagai persoalan, mulai pembengkakan anggaran hingga potensi praktik jual-beli jabatan.
“Saya rasa MK terlalu sering mengubah aturan pemilu tanpa mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh, terutama dari sisi anggaran yang berisiko membengkak dan dimanipulasi oleh elite politik,” kata Paul dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/7/2025).
Senator asal Papua Barat Daya itu menegaskan, pemisahan waktu pemilu nasional dan daerah juga bisa membuka celah penyalahgunaan kekuasaan selama masa transisi kepemimpinan.
“Tidak menutup kemungkinan akan terjadi praktik jual beli jabatan untuk mengisi kekosongan kepala daerah selama 2,5 tahun. Ini berpotensi mencederai demokrasi kita,” tegasnya.
Paul menilai putusan MK tersebut bertolak belakang dengan semangat Pasal 22E UUD 1945 yang menegaskan bahwa pemilu harus dilaksanakan secara serentak setiap lima tahun.
“Ini bukan hanya soal teknis pemilu, tetapi menyangkut prinsip keadilan dan efektivitas demokrasi,” ujarnya.
Ia mengaku pihaknya di DPD RI akan menyampaikan masukan resmi kepada DPR RI agar mempertimbangkan ulang dampak putusan MK tersebut.
“Kami akan mengusulkan evaluasi mendalam agar proses demokrasi tetap berjalan adil, efisien, dan transparan,” pungkas Paul.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Yusril Ihza Mahendra menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
Yusril menyebut keputusan MK tersebut memiliki implikasi serius, terutama terkait potensi perpanjangan masa jabatan anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD).
“Ini persoalan besar karena Pasal 22E UUD 1945 menegaskan anggota DPRD dipilih oleh rakyat setiap lima tahun sekali. Kalau diperpanjang dua hingga dua setengah tahun, dengan dasar apa kita melakukannya? Ini jelas bertabrakan dengan undang-undang,” kata Yusril saat dihubungi di Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Sebagaimana diketahui, MK melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 memutuskan bahwa pemilu daerah, termasuk pemilihan DPRD serta kepala dan wakil kepala daerah, dilaksanakan dua tahun atau dua tahun enam bulan setelah pemilu nasional rampung. Pemilu nasional dianggap selesai saat pelantikan presiden, wakil presiden, DPR, dan DPD terpilih.
Yusril menilai pembentukan tim internal pemerintah pasca putusan tersebut sangat penting, mengingat dampaknya luas dan mendasar. Menurutnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian akan berdiskusi terlebih dahulu dengan Menko Polhukam Budi Gunawan dan dirinya untuk menyamakan pandangan pemerintah sebelum melapor ke Presiden.
“Semua pihak terkait harus satu persepsi. Nanti akan dilaporkan ke Presiden,” ujarnya.
Ia menambahkan, masyarakat baru sekali mengalami pemilu serentak, dan kini dihadapkan pada sistem pemilu terpisah antara pusat dan daerah, dengan jeda dua hingga dua setengah tahun.
Menurut Yusril, perubahan ini juga menimbulkan beban berat bagi partai politik dalam hal penyaringan kader legislatif tingkat pusat dan daerah. “Ini jelas membutuhkan biaya besar dan waktu yang tidak sedikit,” ungkapnya.
Meski demikian, Yusril menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat (binding). Karena itu, pemerintah dan DPR wajib melaksanakannya, termasuk melakukan revisi terhadap UU Pemilu dan aturan turunannya, hingga menyiapkan anggaran serta pelaksanaan teknis pemilu terpisah.
Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, MK menyebut penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah yang terlalu berdekatan membuat partai politik rentan terjebak dalam pragmatisme politik. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6).
“Parpol harus menyiapkan ribuan kader secara instan untuk semua jenjang pemilihan, dari DPR, DPD, presiden/wakil presiden, hingga DPRD provinsi dan kabupaten/kota serta kepala daerah. Akibatnya, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding mempertahankan idealisme dan ideologi,” ujar Arief.
Sebelumnya Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima angkat bicara soal wacana perpanjangan masa jabatan anggota DPRD, sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Menurutnya, putusan MK tersebut akan membawa implikasi ketatanegaraan yang tidak sederhana. Ia mengingatkan agar seluruh pihak mencermati dampak putusan ini secara mendalam agar tidak menimbulkan persoalan baru dalam sistem demokrasi dan penyelenggaraan pemilu nasional.
“Perpanjangan masa jabatan DPRD, misalnya, bukan perkara mudah. Perlu duduk bersama antara DPR, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyepakati langkah-langkah strategis guna mengantisipasi konsekuensi dari putusan MK tersebut,” ujar Aria Bima, dikutip dari JPNN.com, Senin (30/6/2025).
Politikus Fraksi PDI Perjuangan ini menilai bahwa kondisi ini semakin menguatkan urgensi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang baru secara menyeluruh.
Ia menyarankan pembahasan RUU Pemilu tidak cukup hanya melalui Panitia Kerja (Panja), tetapi idealnya melibatkan Panitia Khusus (Pansus) lintas komisi karena persoalan yang dihadapi sangat kompleks.
“Apakah nantinya perlu penambahan pasal peralihan atau penyisipan norma baru dalam UU Pemilu, itu harus dipikirkan secara integral, tidak bisa sepotong-sepotong. Ini menyangkut desain besar penyelenggaraan pemilu yang akan memengaruhi ekosistem demokrasi nasional,” tegasnya.
Lebih lanjut, Aria Bima juga menekankan pentingnya pendekatan kodifikasi atau omnibus law dalam penyusunan undang-undang kepemiluan agar menghasilkan regulasi yang komprehensif dan adaptif terhadap dinamika terbaru.
“Undang-Undang Pemilu ke depan harus merupakan hasil dari proses corrective action yang menyeluruh dan menjawab tantangan yang belum terakomodasi dalam undang-undang yang berlaku sekarang,” pungkasnya.
Diketahui Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin mengakui pihaknya bekerja ekstrakeras ketika pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah digelar secara bersamaan.
Pernyataan tersebut disampaikan Afifuddin sebagai tanggapan atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengatur pemisahan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
“Ya, memang tahapan yang beririsan, bahkan bersamaan secara teknis lumayan membuat KPU harus bekerja ekstra,” ujar Afifuddin melalui pesan singkat, Jumat (27/6). (jpnn/c1/abd)

Tag
Share