Sopir Truk dan Pengusaha Mengeluh Pungli

TOLAK ATURAN ODOL: Sejumlah sopir truk memarkir kendaraannya di tepi jalan saat aksi solidaritas menolak aturan over dimension over load (ODOL) di Jalur Pantura Siliwangi ruas Semarang-Kendal, Jawa Tengah,--FOTO NUR CHAMIM/JAWA POS RADAR SEMARANG

Salah satu pengemudi menuturkan, saat mengangkut sayuran dari Garut ke Pasar Kramat Jati, Jakarta, ia harus menyisihkan dana sekitar Rp175 ribu untuk melintasi 5 sampai 6 titik pungli.

 

"Mulai dari berseragam hingga tidak memakai baju, semua bisa minta pungli. Dari angkut sampai bongkar, semua ada tarifnya,” keluh seorang sopir.

 

Lebih menyedihkan lagi, para pengusaha dan pemilik barang pun jadi korban. Bedanya, mereka menyikapi berbeda: pemilik barang cenderung tertutup, pengusaha setengah terbuka, sementara sopir yang jadi ujung tombak operasional—buka-bukaan.

 

Akibat praktik pungli ini, biaya logistik nasional ikut membengkak. Menurut pengusaha, pungli menyumbang sekitar 15 hingga 30 persen dari total ongkos angkut logistik di Indonesia.

 

’’Kalau dihitung, truk dengan ritase padat bisa menghabiskan Rp120-Rp150 juta per tahun hanya untuk pungli. Itu sekitar Rp10–Rp12 juta per bulan,” ujar seorang pelaku usaha angkutan.

 

Celakanya, ini terjadi saat pemerintah justru sedang gencar mendorong program Zero ODOL (tanpa truk kelebihan muatan/dimensi). Namun, pungli yang justru jadi salah satu akar penyebab tetap dibiarkan menjamur tanpa solusi nyata.

 

Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, menyayangkan lemahnya komitmen pemberantasan pungli.

 

’’Selama ini pemerintah sibuk mengurus ODOL, tapi abai terhadap punglinya. Padahal, praktik pungli jauh lebih sistemik dan membebani biaya logistik secara signifikan,” tegas Djoko.

Tag
Share