Ketua Komisi XI DPR: Pemerintah Harus Siap Hadapi Risiko Lonjakan Harga Minyak Akibat Konflik Iran-Israel

Ketua Komisi XI DPR RI Muhammad Misbakhun mengimbau pemerintah menyiapkan strategi fiskal menghadapi potensi lonjakan harga minyak akibat konflik global. -FOTO DISWAY -
JAKARTA – Ketua Komisi XI DPR RI Muhammad Misbakhun menyoroti potensi gejolak harga minyak global akibat eskalasi konflik antara Iran dan Israel, serta keterlibatan Amerika Serikat.
Ia menilai pemerintah perlu menyiapkan langkah antisipatif agar harga minyak Indonesia (ICP) tidak melampaui asumsi APBN 2025 yang ditetapkan sebesar 82 dolar AS per barel.
’’ICP dalam APBN 2025 dipatok 82 dolar per barel. Saat ini masih aman, karena berkisar di 75–79 dolar. Namun jika konflik berlanjut dan harga melampaui batas asumsi, maka kita harus siap dengan skenario pengurangan subsidi BBM dan skema kompensasi bagi masyarakat miskin,” ujar Misbakhun dalam keterangan pers, Senin (30/6).
Ia menambahkan, selama harga ICP masih terkendali, pemerintah belum perlu mengambil pembiayaan baru. Namun, jika harga melonjak signifikan, dampaknya bisa memicu inflasi dan meningkatkan tekanan terhadap fiskal nasional.
“Kalau harga minyak naik ke 90 atau bahkan 100 dolar per barel, maka skenario risiko harus dijalankan. Termasuk kemungkinan penyesuaian harga BBM bersubsidi sebesar 10 persen yang tentu berdampak pada inflasi dan beban subsidi,” jelasnya.
Meski demikian, hasil simulasi bersama sejumlah analis ekonomi, termasuk dari Bank Mandiri, menunjukkan bahwa ruang fiskal pemerintah masih memadai. Bahkan, jika ICP menembus 100 dolar, inflasi diperkirakan tetap dalam batas aman, yaitu sekitar 2,70 persen—naik sekitar 0,32 basis poin dari posisi saat ini.
“Ini menjadi dasar penting untuk menjaga keseimbangan fiskal dan sosial. Jika subsidi BBM dikurangi, maka kompensasi bagi masyarakat miskin harus disiapkan agar daya beli tetap terjaga,” tegas Misbakhun.
Ia menekankan pentingnya sinergi antarlembaga pemerintah dalam menyusun strategi fiskal yang adaptif, terukur, dan bertanggung jawab di tengah ketidakpastian geopolitik global.
Silakan beri tahu jika ingin versi ringkas untuk media sosial atau tambahan visual seperti grafik asumsi ICP dan subsidi energi.
Sebelumnya, Konflik bersenjata antara Iran dan Israel, yang turut melibatkan Amerika Serikat, berpotensi memicu lonjakan harga minyak dunia. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperingatkan dampak serius dari situasi geopolitik ini terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia.
Ekonom Indef Eko Listiyanto menyebut jika konflik tersebut berlarut-larut, harga minyak mentah dunia hampir pasti mengalami kenaikan signifikan. Salah satu faktor utamanya adalah potensi terganggunya distribusi minyak melalui Selat Hormuz, jalur vital yang menyumbang hampir 20 persen konsumsi minyak global.
“Jika perang ini terus berlanjut, harga minyak global akan meningkat karena sekitar 20 persen distribusi minyak dunia melewati Selat Hormuz. Akibatnya, distribusi barang global terganggu, harga melonjak, dan inflasi global pun terancam naik,” ujar Eko dalam pernyataannya di Jakarta, Senin, 23 Juni 2025.
Laporan Anadolu Agency menyebutkan bahwa penutupan Selat Hormuz bisa berdampak besar, mengingat sekitar 15 juta barel minyak mentah per hari—setara sepertiga perdagangan minyak global—melintasi jalur ini. Parlemen Iran pada Minggu, 22 Juni 2025, telah menyetujui usulan penutupan Selat Hormuz bagi seluruh aktivitas pelayaran sebagai respons atas serangan Amerika Serikat ke fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan.
Presiden AS Donald Trump mengonfirmasi bahwa serangan tersebut merupakan bagian dari respons terhadap eskalasi konflik sejak 13 Juni lalu, setelah Israel dengan dukungan AS melancarkan serangan militer ke wilayah Iran, yang kemudian memicu serangan balasan dari Teheran.
Eko menegaskan bahwa Indonesia tidak akan luput dari dampak konflik tersebut, khususnya terkait anggaran subsidi energi. Meskipun harga minyak dunia saat ini masih di bawah asumsi APBN 2025 sebesar USD 82 per barel, yaitu sekitar USD 77 per barel per Jumat, 20 Juni 2025, risiko lonjakan tetap mengintai.
“Kalau konflik terus berkepanjangan, harga minyak bisa melambung, diikuti oleh harga energi lain. Ini bisa menekan daya tahan APBN dalam membiayai subsidi energi, termasuk bahan bakar minyak (BBM),” jelas Eko.
Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, Eko menyarankan agar pemerintah meningkatkan efektivitas anggaran guna memperkuat daya beli masyarakat.
’’Selama permintaan domestik tetap kuat, ekonomi nasional bisa bertahan dari guncangan eksternal,” tutup Wakil Direktur Indef tersebut. (disway/c1/abd)