DPR RI Bahas Putusan MK soal Pemilu Nasional dan Lokal

FOTO ANISHA APRILIA/DISWAY.ID Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pihaknya bakal mengkaji dahulu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal.--

JAKARTA – Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pihaknya akan mengkaji dahulu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal.

’’Kami akan mengkaji dahulu putusan itu,” kata Dasco kepada wartawan, Senin (30/6).

Meski demikian, dia mengaku belum mengetahui apakah putusan itu menjadi pertimbangan dalam merevisi RUU Pemilu. Sebab, keputusan tersebut masih dikaji oleh DPR RI.

’’Saya belum bisa jawab karena kita kan belum mengkaji. Kalau sudah kajiannya komprehensif, ya mungkin semua pertanyaan kita bisa jawab. Ini keputusannya baru kemarin, jadi ya kita belum bisa jawab,” katanya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilu nasional dipisah dengan pemilu daerah atau lokal.

MK memutuskan pemilihan umum DPRD dan kepala daerah dilakukan 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.

Keputusan ini berdasarkan sidang putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.

BACA JUGA:Komisi I DPR RI Minta Kemenlu Adaptif Hadapi Situasi Geopolitik Global

’’Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan, Kamis, 26 Juni 2025.

Selain itu, lanjut Suhartoyo, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai.

“Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden’,” tambah Suhartoyo.

Sementara itu, Wakil Ketua MK, Saldi Isra mengatakan bahwa pemisahan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa hingga saat ini pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan tanggal 26 Februari 2020.

Kemudian secara faktual pula, pembentuk undang-undang sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terterhadap semua undang-undang yang terkait dengan pemilihan umum.

Tag
Share