PKS Dorong Pembahasan RUU Pemilu Rampung Tahun Ini, Demi Persiapan Lebih Matang Menuju 2029

Presiden PKS Al Muzzammil Yusuf menilai pembahasan RUU Pemilu perlu diselesaikan lebih awal agar tidak bersifat pragmatis. -FOTO IST/RNN -
JAKARTA – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendorong agar pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Umum dapat diselesaikan pada tahun ini. Langkah itu dinilai penting agar semua pihak bisa fokus mempersiapkan Pemilu 2029 dengan lebih matang.
Presiden PKS Al Muzzammil Yusuf menilai kalau pembahasan dilakukan terlalu dekat dengan masa persiapan pemilu, maka hasilnya cenderung pragmatis dan tidak menyentuh perbaikan mendasar.
“Kalau dibahas dari sekarang, masih sangat jauh, dan persiapan KPU maupun Bawaslu bisa lebih maksimal,” kata Muzzammil dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (8/6).
Ia mengungkapkan harapannya agar pelaksanaan Pemilu 2029 tidak mengulang kekisruhan seperti yang terjadi pada Pemilu 2024, khususnya terkait tata kelola dan validitas data pemilu di KPU.
Muzzammil juga menceritakan pengalamannya selama tiga periode terlibat dalam pembahasan UU Pemilu di DPR, yakni pada tahun 2004, 2009, dan 2014. Saat itu, pembahasan melibatkan seluruh fraksi dan para pakar terbaik.
“Kalau nanti ada pembahasan kembali, saya harap ada panitia khusus (pansus) dengan melibatkan semua komponen, termasuk akademisi dan ahli kepemiluan,” ujarnya.
Terkait isu-isu sensitif seperti parliamentary threshold dan presidential threshold, Muzzammil menegaskan pihaknya menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, ia menilai DPR tetap memiliki ruang untuk menyempurnakan norma-norma agar kualitas pemilu terus meningkat.
“Yang kami dorong adalah bagaimana pemilu makin berkualitas, dan kandidat yang terpilih benar-benar orang terbaik,” tuturnya.
Lebih jauh, Muzzammil menyebut perlunya membahas integritas pemilu secara menyeluruh, termasuk meminimalkan praktik money politics, peningkatan transparansi dana kampanye, serta bantuan negara untuk partai politik.
“Kami juga ingin belajar dari praktik terbaik di luar negeri. Bagaimana mencegah korupsi lewat sistem partai yang sehat, itu penting dan tidak bisa dibahas secara parsial,” tambahnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengungkapkan bahwa pemerintah tengah menyusun draf RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. RUU tersebut akan menjadi bagian dari paket revisi Undang-Undang Politik.
“Kemendagri sedang menyusun draf dan membuka ruang publik yang sangat besar dalam prosesnya,” kata Bima saat berbicara dalam diskusi publik yang digelar Partai Demokrat di Kantor DPP Demokrat, Jakarta, Senin (19/5).
Menurut Bima, penyusunan RUU harus melibatkan aspirasi luas dari publik dan komunitas akademik agar hasilnya lebih inklusif dan berkualitas. Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurizal menyatakan bahwa keputusan mengenai pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang pemilu akan ditentukan melalui Rapat Pimpinan (Rapim) DPR RI dan Badan Musyawarah (Bamus). Hingga saat ini, DPR belum menetapkan alat kelengkapan dewan (AKD) yang akan membahas regulasi tersebut.
’’Keputusan akan dibahas dalam rapim dan dimasukkan ke bamus. Semua pengambilan keputusan ada di bamus nanti,” ujar Cucun di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (23/4).
Ia menambahkan, sampai saat ini pimpinan DPR RI belum membahas secara resmi RUU Pemilu, termasuk surat dari Komisi II yang disebut akan diajukan.
“Kita belum bahas kok. Suratnya saja belum kami terima,” ujarnya.
RUU Pemilu belakangan disebut-sebut sebagai bagian dari rencana Omnibus Law Politik. Namun, hingga kini belum ada kejelasan soal siapa yang akan membahasnya, apakah Komisi II atau Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Sebelumnya, terjadi perbedaan pandangan antara pimpinan Komisi II dan Baleg DPR RI. Wakil Ketua Komisi II DPR Aria Bima menyatakan bahwa RUU Pemilu sebaiknya dibahas di Komisi II, bukan di Baleg. Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mengatakan pihaknya saat ini memprioritaskan pembahasan RUU tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), danmenyerahkan keputusan RUU Pemilu ke pimpinan DPR.
Di sisi lain, Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyatakan RUU Pemilu sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan sebaiknya dibahas oleh Baleg.
“RUU Pemilu akan dibahas di Baleg karena sudah masuk Prolegnas. Kami mendorong agar pembahasan segera dimulai,” kata Doli.
Sebelumnya DPR RI tidak mempersiapkan rancangan undang-undang (RUU) tentang revisi Undang-undang Pemilu.
Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menegaskan bahwa saat ini pihaknya tidak sedang menyiapkan perubahan terhadap Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, tetapi fokus pada revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Wakil rakyat yang membidangi penegakan hukum memegang peran penting dalam memastikan terciptanya keadilan, kepastian hukum, dan supremasi hukum ini mengatakan bahwa fokus utama Komisi II tahun ini pada Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Aparatur Sipil Negara (ASN), sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
“Kelihatannya pada hari jadi ke-17 itu teman-teman penyelenggara pemilu, terutama dari Bawaslu, terlihat resah soal masa depan kelembagaan mereka, apakah tetap permanen atau kembali ke bentuk ad hoc,” kata Zulfikar dalam Tasyakuran HUT Ke-17 Bawaslu RI di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Selasa.
“Saya ingin sampaikan bahwa informasi yang benar adalah Komisi II tidak sedang menyiapkan perubahan UU Pemilu ... mohon maaf. Komisi II pada tahun ini, prolegnas tahun ini, diminta revisi UU ASN,” ujarnya.
Ditegaskan pula bahwa saat ini Komisi II diarahkan untuk bahas revisi UU ASN meskipun dia tidak setuju terhadap rencana tersebut.
“Saya tidak tahu kenapa harus diubah lagi? Padahal, belum lama ada perubahan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara. Saya pribadi tidak setuju karena ada semangat sentralisasi dalam perubahan ini,” ujar Zulfikar.
Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023.
Ia menyoroti substansi perubahan yang hanya menyasar satu pasal, tetapi memiliki dampak besar pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
Perubahan itu, kata dia, menyangkut pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan pejabat pimpinan tinggi yang ditarik langsung ke Presiden.
“Ini menafikan negara kesatuan yang desentralisasi dan otonomi luas sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945, termasuk menafikan kewenangan pejabat pembina kepegawaian di daerah,” jelasmya.
Lebih lanjut dia menyatakan keberatannya secara pribadi dan akan berupaya agar perubahan itu tidak terjadi.
“Saya termasuk yang tidak setuju, dan akan berusaha agar itu tidak disahkan. Mohon maaf ... kalau sampai ini diketok oleh pimpinan DPR, apalagi oleh ketua umum partai,” ucap Zulfikar.
Terkait dengan rencana perubahan UU Pemilu, Zulfikar menambahkan bahwa proses tersebut sebenarnya sedang digodok oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Namun, Komisi II sedang berupaya agar pembahasan itu dikembalikan ke ranah Komisi II sebagai mitra langsung penyelenggara pemilu.
“Kami sudah melobi pimpinan DPR, dan terakhir saya bicara dengan Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, sudah ada sinyal positif untuk mengembalikannya ke Komisi II,” pungkasnya.
Sebelumnya Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, menanggapi wacana pengubahan status lembaganya menjadi ad hoc. Bagja menegaskan bahwa ia tidak setuju dengan ide tersebut karena dapat mempengaruhi kinerja lembaga yang bertanggung jawab dalam pengawasan pemilu ini.
Menurut Bagja, pengubahan status Bawaslu menjadi ad hoc justru akan menciptakan masalah baru dalam penyelenggaraan pemilu. Bagja berpendapat, tata kelola pemilu di Indonesia akan semakin baik jika status kelembagaan Bawaslu tetap permanen.
“Kami kira dengan keajegan ini, dengan permanennya penyelenggara pemilu, maka bagi kami, electoral justice system atau sistem peradilan pemilu akan lebih baik, dan tata kelola pemilu juga akan semakin baik dengan keajegan ini,” ungkap Rahmat Bagja dalam keterangannya pada Senin (23/12).
Ia menambahkan bahwa pengubahan status menjadi lembaga ad hoc justru akan menciptakan masalah baru terkait politik uang dan pelatihan bagi petugas, termasuk permasalahan yang dihadapi teman-teman KPU di tingkat kabupaten/kota yang memiliki sekretariat masing-masing.
BACA JUGA:Ketua Komisi II DPR RI Inginkan KPU dan Bawaslu Tetap Jadi Lembaga Permanen, Bukan Ad Hoc
Selain itu, dengan status permanen, Bawaslu dapat menerapkan prinsip meritokrasi yang berkelanjutan dan berjenjang bagi anggotanya. Bagja mencontohkan, pengawas pemilu yang berkarier dari tingkat bawah seperti Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) dapat naik menjadi anggota Bawaslu pusat.
“Orang-orang yang berkarier dari bawah, dari Panwascam, kemudian masuk ke Bawaslu di kabupaten dan selanjutnya ke tingkat pusat, itulah yang menjadi salah satu keunikan dari penyelenggaraan pemilu di Indonesia,” tambah Bagja.
Sebelumnya, Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty, juga telah menegaskan urgensi eksistensi lembaga Bawaslu. Lolly, saat membuka Konsolidasi Nasional Perempuan Pengawas Pemilu di Badung, Bali, pada Sabtu (21/12), menyatakan bahwa Bawaslu bertanggung jawab dalam membangun kesadaran politik yang memerlukan proses panjang.
“Orang sering lupa, beras pun tidak langsung ada, harus melalui proses panjang, dari tanah yang disiapkan hingga ditanam dan dirawat,” kata Lolly. Menurutnya, masa non-tahapan pemilu dan pilkada adalah waktu yang penting bagi Bawaslu untuk menanamkan kesadaran kepemiluan.
Lolly juga menanggapi kritik yang mengatakan Bawaslu tidak bekerja selama masa non-tahapan pemilu. “Kami harus menjawab dengan membuat program-program pada 2025 yang bisa menunjukkan bahwa Bawaslu memang bekerja,” jelas Lolly. (ant/c1/abd)