Bawaslu: Politik Uang Masih Jadi Masalah Serius dalam Pemilihan 2024

Anggota Bawaslu Herwyn J.H. Malonda saat menjadi pembicara dalam Webinar Sekolah Konstitusi Puskoper Unesa, Sabtu (31/5). -FOTO IST -
JAKARTA – Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Herwyn J.H. Malonda menyatakan bahwa politik uang masih menjadi persoalan utama dalam gelaran Pemilihan 2024. Hal ini meskipun beberapa tantangan lain seperti politisasi SARA dan masalah daftar pemilih menunjukkan tren penurunan.
Dalam Webinar Sekolah Konstitusi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi dan Pemerintahan (Puskoper) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) pada Sabtu (31/5), Herwyn menegaskan bahwa praktik politik uang masih terjadi secara nyata di sejumlah daerah.
“Tantangan yang dihadapi masih ada pada praktik politik uang. Ini dibuktikan melalui kasus di Pemilihan Bupati Barito Utara yang terungkap di sidang Mahkamah Konstitusi. Netralitas ASN juga masih banyak kami proses,” ungkap Herwyn.
Namun, ia mencatat bahwa politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam Pemilu 2024 cenderung berkurang dibandingkan pemilu sebelumnya. Beberapa daerah bahkan menunjukkan kemajuan, di mana kepala daerah terpilih lebih karena visi, misi, dan program kerja ketimbang sentimen identitas.
“Ada daerah-daerah yang patut diapresiasi karena tidak memilih berdasarkan politik identitas, tetapi karena kualitas visi dan program calon,” tambahnya.
Terkait persoalan daftar pemilih, Herwyn menyebutkan bahwa kualitas data pemilih juga semakin membaik. Indikasinya terlihat dari menurunnya jumlah temuan Bawaslu maupun gugatan di Mahkamah Konstitusi terkait data pemilih.
“Dibandingkan pemilu sebelumnya, sekarang sudah jauh lebih baik. Temuan dan putusan terkait data pemilih sudah sangat menurun,” ujarnya.
Herwyn berharap ke depan akan ada pengaturan yang lebih jelas dan komprehensif terkait penegakan hukum pemilu dan pemilihan, terutama karena saat ini masih menggunakan dua rezim undang-undang yang berbeda.
“Mudah-mudahan ke depan ada kepastian hukum dalam pengaturan pelaksanaan pemilu dan pemilihan yang bisa menyelesaikan problem yuridis yang masih ada,” tutupnya.
Sebelumnya, Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Puadi menegaskan bahwa penghapusan praktik politik uang memerlukan sinergi antara berbagai pemangku kepentingan.
Menurutnya, persoalan politik uang bukan hanya soal hukum, tetapi juga terkait erat dengan budaya dan struktur politik lokal.
“Perlu disadari bahwa praktik politik uang tidak hanya persoalan hukum, melainkan juga budaya dan struktur politik lokal. Oleh sebab itu, sinergi dengan pemangku kepentingan lain mutlak dibutuhkan,” ujar Puadi saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (16/5/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang mendiskualifikasi seluruh pasangan calon dalam Pilkada Kabupaten Barito Utara 2024 karena terbukti melakukan politik uang.
Puadi mengatakan, putusan MK itu harus menjadi refleksi penting bagi partai politik dalam proses rekrutmen calon kepala daerah serta dalam mendisiplinkan kader agar menjauhi praktik transaksional yang mencederai demokrasi.
“Pencegahan dan pembenahan harus dilakukan secara holistik, bukan hanya dibebankan kepada Bawaslu,” ucapnya.
Ia juga menegaskan bahwa jajaran Bawaslu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota telah bekerja maksimal dalam mengawasi seluruh tahapan pilkada. Dugaan politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) juga telah ditindaklanjuti sesuai prosedur.
“Apabila terdapat perbedaan dalam pendekatan penilaian terhadap unsur ‘masif’ antara Bawaslu dan Mahkamah, hal tersebut harus dimaknai sebagai ruang interpretasi hukum, bukan pembiaran,” tegas Puadi.
Dalam perkara Pilkada Barito Utara, pasangan calon nomor urut 1, Gogo Purman Jaya–Hendro Nakalelo, awalnya mengajukan gugatan hasil pemungutan suara ke MK dengan tudingan bahwa pasangan calon nomor urut 2, Akhmad Gunadi Nadalsyah–Sastra Jaya, telah melakukan praktik politik uang.
Namun dalam persidangan, MK justru menemukan bahwa kedua pasangan calon sama-sama terbukti melakukan praktik pembelian suara. Untuk pasangan nomor urut 2, nilai pembelian suara disebut mencapai Rp16 juta per pemilih. Salah satu saksi bahkan mengaku menerima Rp64 juta untuk satu keluarga.
Sementara untuk pasangan nomor urut 1, praktik serupa juga terjadi dengan nilai hingga Rp6,5 juta per pemilih. Seorang saksi mengaku menerima Rp19,5 juta untuk satu keluarga, dan dijanjikan ibadah umrah jika pasangan tersebut menang.
Atas dasar itu, MK memutuskan untuk mendiskualifikasi kedua pasangan calon dan memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Barito Utara dengan hanya diikuti pasangan calon baru. PSU wajib dilaksanakan paling lambat 90 hari sejak putusan dibacakan pada Rabu, 15 Mei 2025.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan bahwa wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD atau pemilihan tidak langsung harus mengantisipasi kemungkinan terjadinya premanisme politik dan praktik politik uang.
Rifqi, sapaan akrabnya, menekankan pentingnya merumuskan formula yang tepat agar praktik tersebut tidak mengulangi sejarah kelam pilkada masa lalu.
“Kita harus mencari formula yang tepat agar korupsi dan money politics tidak beralih ke partai politik dan DPRD, sehingga trauma politik masa lalu tidak terulang,” ujar Rifqinizamy dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria di Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Legislator Fraksi Partai NasDem itu menjelaskan bahwa berdasarkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah sempat dilakukan melalui DPRD.
Namun, implementasinya justru tidak sesuai dengan harapan dan malah memperburuk masalah, terutama terkait politik uang yang terjadi pada saat itu.
“Pemilihan melalui DPRD saat itu tidak menyelesaikan masalah yang timbul dari pemilihan langsung, seperti politik uang,” tambah Rifqi.
Oleh karena itu, Komisi II DPR RI akan mempertimbangkan berbagai aspek untuk merumuskan aturan tentang pemilihan kepala daerah yang relevan dan sesuai dengan cita-cita demokrasi yang berkembang.
“Pemilihan kepala daerah melalui DPRD, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pernah diwarnai oleh aksi premanisme politik dan politik uang di berbagai daerah. Kami berharap hal semacam itu tidak terjadi lagi,” tegas Rifqinizamy yang merupakan wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Kalimantan Selatan I, yang meliputi Kabupaten Balangan, Banjar, Barito Kuala, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong, dan Tapin.
Rifqi juga mengungkapkan bahwa praktik politik uang yang terjadi, baik dalam pemilihan langsung maupun tidak langsung, menjadi pertimbangan penting dalam merancang sistem pilkada. Politik uang, menurutnya, merusak tatanan budaya politik dan demokrasi di Indonesia.
“Budaya politik kita tidak boleh barbarian, termasuk soal politik uang. Ini menjadi salah satu alasan mengapa pemilihan kepala daerah sebaiknya tidak dilakukan secara langsung,” pungkas Rifqi. (bwl/c1/abd)