Harga Kopi Dunia Naik, Produktivitas Masih Rendah

PANEN KOPI: Halimin (55), seorang petani kopi Desa Pasar Minggu, Kayuaro, memetik kopi unggul jenis arabika di kebun kopinya seluas tiga hektare. --FOTO BERITASATU.COM/RADESMAN SARAGIH

Agung juga mendorong para pelaku usaha untuk melakukan sourcing produk berkelanjutan, guna memperkuat komitmen terhadap rantai pasok yang ramah lingkungan dan adil bagi petani.

 

Dukungan dari pemerintah juga diperlukan dalam bentuk akses finansial, teknologi, serta pupuk subsidi bagi petani kopi lokal saat tengah harga kopi dunia naik untuk tingkatkan kesejahteraan.

 

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan juga mengungkap tantangan besar yang dihadapi petani kopi Indonesia untuk bisa menjadi pemain utama di panggung dunia. Meski saat ini Indonesia berada di posisi keempat sebagai produsen kopi terbesar, jarak dengan dua negara teratas, Vietnam dan Brasil, masih sangat jauh.

 

Menurut Zulhas, salah satu akar masalah utama adalah pola pengelolaan hasil keuntungan oleh petani. Saat harga kopi sedang tinggi, keuntungan yang diperoleh tidak digunakan untuk pengembangan kebun.

 

’’Kalau petani Vietnam, uang dari hasil panen dikembalikan ke kebunnya untuk memperbaiki kualitas. Namun, petani kita justru beli rumah, motor, mobil. Kebunnya malah terbengkalai,” ungkap Zulhas. 

 

Akibatnya, kata Zulhas, kualitas kebun dan hasil panen menurun seiring waktu karena kurangnya investasi kembali dalam budi daya dan pengolahan kopi.

 

Zulhas juga menyoroti rendahnya produktivitas kopi di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), luas panen kopi nasional mencapai 1,25 juta hektare. Namun, rata-rata produksi per hektare masih di bawah satu ton.

 

’’Produktivitas kita sangat rendah. Saya sudah minta ke Pak Erick agar BUMN bisa bantu menyediakan bibit unggul,” jelasnya terkait produktivitas petani kopi Indonesia.

Tag
Share