Aria Bima Desak Kemendagri Evaluasi Ormas yang Ganggu Ketertiban

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima menilai perlu adanya evaluasi terhadap ormas yang berpotensi memecah belah persatuan. -FOTO DISWAY -

JAKARTA – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengevaluasi sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang dinilai membuat kegaduhan dan mengganggu ketertiban umum.
Menurutnya, meskipun konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, hak tersebut tidak boleh digunakan untuk merusak persatuan bangsa dan mengganggu ketertiban masyarakat.
“Kalau kebebasan berserikat dan berkumpul justru mengganggu persatuan, menimbulkan ketidakadilan, atau bahkan melanggar nilai-nilai kemanusiaan, maka Kemendagri harus melakukan evaluasi terhadap ormas tersebut. Jika diperlukan, sanksi hingga pembubaran bisa dilakukan,” kata Aria Bima di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Politikus PDI Perjuangan ini menegaskan bahwa pemerintah perlu bertindak tegas terhadap ormas yang dinilai menyimpang dari prinsip persatuan dan toleransi. Ia mencontohkan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) yang dilakukan pemerintah karena dianggap menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Kita pernah membubarkan HTI dan FPI karena dianggap tidak memperkuat semangat persatuan Indonesia dan melakukan tindakan intoleransi yang merusak kebhinekaan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Aria menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menjaga stabilitas dan ketertiban nasional. Ia menolak adanya ormas yang bertindak seolah-olah memiliki kewenangan dalam urusan pertahanan dan keamanan.
“Urusan pertahanan dan keamanan adalah tugas aparat negara. Tidak boleh ada organisasi yang merasa berhak mengambil alih peran tersebut, apalagi sampai menimbulkan keonaran yang mengganggu kesatuan bangsa,” tegasnya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menegaskan organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan pengerusakan harus ditindak.
Hal ini menanggapi banyaknya kasus oleh oknum anggota ormas yang melakukan aksi premanisme, salah satunya pembakaran mobil polisi di Depok.
“Kalau seandainya (aksi ormas) itu merusak segala macam, itu kan pidana. Kalau pidana, ya, otomatis harus ditindak, proses pidana. Kemudian, harus tegakkan hukum supaya ada stabilitas keamanan dijaga,” terang Tito ketika ditemui di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, 25 April 2025.
Sementara apabila aksi tersebut merupakan ulah perorangan, orang tersebut yang bertanggung jawab.
“Tapi kalau seandainya itu adalah kegiatan yang sistematis dan ada perintah dari ormasnya, keputusan bersama ormasnya. Secara organisasi, maka bisa dikenakan juga ormasnya pidana, korporasinya,” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa akan melakukan evaluasi terhadap undang-undang terkait ormas.
“Undang-undang ormasnya kita akan melakukan evaluasi karena kita paham, dulu, kan, (UU) ormas itu dibuat, dibentuk ketika zaman reformasi untuk adanya kebebasan berserikat dan berkumpul,” kata Tito kemudian.
Ormas ini dibentuk untuk mengakomodir hak sipil (civil rights) yang salah satu di antaranya kebebasan berserikat atau freedom of congregation.
Namun demikian, seiring berjalan waktu tentu terdapat perubahan situasi sehingga tidak menutup kemungkinan dilakukan perubahan-perubahan terhadap kebijakan tersebut.
“Nah, kalau seandainya ada ormas, kita lihat banyak sekali peristiwa ormas yang kebablasan, mungkin perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat,” tandasnya.
Termasuk salah satunya pengawasan atau audit keuangan.
“Maka bisa saja undang-undang Ormas itu juga direvisi. Tapi, nanti, kan, yang memutuskan, kalau usulan pemerintah, kan, diserahkan kepada DPR. Nanti DPR yang membahasnya dan menjadi keputusan,” cetusnya.

(disway/c1/abd)


---


Tag
Share