Tahun Ini, 53 Daerah Siap Selenggarakan Sekolah Rakyat

TINJAU: Mensos Saifulllah Yusuf saat meninjau rumah aman anak di Desa Kedungmaling, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.-FOTO ACHMAD SUPRIYADI/BERITASATU.COM-
Pada kesempatan sama, Plh Sekda Provinsi Lampung M. Firsada mengatakan, semua pembiayaan sekolah rakyat ini akan dilakukan pemerintah pusat. Termasuk dengan para pengajarnya.
Tugas pemerintah daerah menurutnya hanya menyiapkan lahan dan lahan itu lahan milik pemerintah yang tidak bersengketa. Kemudian untuk para siswa yang akan dipilih adalah berasal dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (STKS) dan tidak dipungut biaya.
“Jadi ini sekolahnya gratis dan skemanya boarding school. Apakah nantinya SMA atau SMK, ini tergantung dengan pusat maunya seperti apa,” ungkapnya.
Sementara, pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai pembentukan sekolah rakyat saat ini tidak urgen. Ia melontarkan pandangannya daripada membuat sekolah rakyat lebih baik pemerintah mengoptimalkan sekolah-sekolah yang sudah ada.
”Sekarang ini banyak sekolah swasta yang tutup karena sepi dan kurang peminat. Lebih baik itu diakuisisi dan digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan gratis. Sehingga tidak hanya negeri yang gratis, tapi juga swasta,” ujarnya seperti dikutif Jawa Pos, Jumat (14/3) lalu.
Darmaningtyas melanjutkan, jika harus mendirikan sekolah baru dengan lintas kementerian, hal itu akan berdampak pada dua hal. Pertama, jumlah kementerian yang mengelola institusi pendidikan malah bertambah. Kedua, akan mengurangi alokasi bujet sektor pendidikan dari yang saat ini kecil menjadi semakin berkurang, terlebih di tengah iklim efisiensi anggaran.
Dia lebih mendorong pemerintah memaksimalkan sekolah eksisting daripada membentuk sekolah baru. ”Jadi, sekolah yang sudah ada itu ditunjuk saja untuk menyelenggarakan sekolah rakyat,” imbuh alumnus filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga penulis tersebut.
Sebagaimana diketahui pada tahap awal, Kemensos menargetkan 200 sekolah bisa dibangun. Darmaningtyas menyebut hal itu terbilang tidak realistis, apalagi di tengah iklim efisiensi anggaran. ”Belum lagi kesulitan mendapatkan lahan untuk mendirikan sekolah yang representatif. Maka yang paling realistis ya mengambil dari sekolah yang ada, diakuisisi untuk sekolah rakyat. Apalagi mengurusi pendidikan itu bukan tupoksi dari Kemensos,” tuturnya.
Peneliti pendidikan Totok Amin Soefijanto juga menuturkan hal senada. Secara umum, gagasan sekolah rakyat terbilang cukup baik, namun pada kenyataan di lapangan sering kali gagasan itu tidak dapat dieksekusi dengan optimal.
”Penyakit di Indonesia itu antara gagasan dan implementasinya itu ada jurang, nggak match. Gagasan yang bagus, tapi tidak bisa diimplementasikan dengan baik karena melupakan hal-hal teknis. Kalau Kemensos bikin sekolah, apakah gurunya dari Kemensos? Kan tidak, gurunya kan dari Kemendikdasmen,’’ paparnya.
Totok menyebutkan, makin banyak kementerian/lembaga yang terlibat dalam sebuah kebijakan, eksekusi kebijakan makin kompleks dan rumit. Terlebih, Kemensos menargetkan sekolah rakyat bisa dimulai pada Juli tahun ini. ”Sekolah kan bukan soal gagasan saja. Apalagi kebiasaan birokrasi kita rapat terus. Rencananya Juli mau dimulai, bayangkan saja bagaimana rumitnya dalam waktu dekat,’’ jelasnya. (beritasatu/c1/yud)