Kemenkes Wajibkan Tes Kejiwaan Berkala untuk Peserta PPDS, Program Anestesi Unpad Dihentikan Sementara

Kemenkes minta cabut STR pelaku dan hentikan sementara program PPDS Anestesi Unpad untuk evaluasi sistem pendidikan. -FOTO DISWAY -
JAKARTA – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mewajibkan seluruh rumah sakit pendidikan di bawah naungannya untuk melaksanakan tes kejiwaan secara berkala kepada peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dari semua angkatan.
Langkah ini diambil menyusul kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang peserta PPDS Anestesi Universitas Padjadjaran (Unpad) di RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, pertengahan Maret 2025 lalu.
“Tes berkala diperlukan untuk mencegah manipulasi hasil serta mendeteksi dini potensi gangguan kejiwaan pada peserta pendidikan,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, 10 April 2025.
Sebagai tindak lanjut dari kasus tersebut, Kemenkes juga memutuskan untuk menghentikan sementara seluruh kegiatan residensi PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unpad yang berpraktik di lingkungan RSHS Bandung.
“Penghentian ini bertujuan memberi ruang untuk evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola dan sistem pengawasan program PPDS di RSHS,” jelas Aji.
Evaluasi ini diharapkan dapat memperkuat pengawasan dan mencegah terulangnya kembali insiden serupa, baik yang melanggar hukum maupun kode etik profesi kedokteran.
Terkait pelaku kekerasan seksual berinisial PAP, Kemenkes telah mengajukan permintaan resmi kepada Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) untuk mencabut Surat Tanda Registrasi (STR), yang secara otomatis akan membatalkan Surat Izin Praktik (SIP) milik pelaku.
“Kami akan terus mengawal penanganan kasus ini serta mendorong semua institusi pendidikan dan fasilitas kesehatan untuk memperketat sistem pengawasan, memperbaiki mekanisme pelaporan, dan memastikan lingkungan bebas dari segala bentuk kekerasan,” tegas Aji.
– Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) periode 2025–2028, Dr. dr. Slamet Budiarto, SH., MH.Kes, akhirnya memberikan tanggapan resmi terkait maraknya kembali insiden kekerasan dalam proses pendidikan dokter spesialis (PPDS).
Perhatian publik belakangan ini tertuju pada kasus dugaan pelecehan yang dilakukan oleh seorang residen PPDS Anestesi Universitas Padjadjaran (Unpad) di RS Hasan Sadikin, Bandung. Residen tersebut diduga melakukan tindakan tidak senonoh terhadap dua pasien dan satu anak dari pasien.
Masih segar dalam ingatan publik, tragedi serupa terjadi tahun lalu di Semarang. Seorang residen PPDS Anestesi dari Universitas Diponegoro (Undip) meninggal dunia di RSUP Dr. Kariadi. Kematian tersebut diduga berkaitan dengan aksi perundungan oleh seniornya.
Menanggapi dua kasus ini, Slamet menegaskan bahwa organisasi yang ia pimpin tidak akan memberikan toleransi terhadap segala bentuk kekerasan, apapun bentuknya.
“PB IDI tidak menoleransi peristiwa semacam ini. Itu adalah tindakan kriminal murni,” tegasnya kepada wartawan, Jumat, 11 April 2025.
Slamet menyampaikan pentingnya peningkatan peran pengawasan, khususnya dari Kementerian Kesehatan, terhadap rumah sakit pendidikan tempat para residen menjalani pelatihan profesi.
“Yang paling utama adalah pengawasan dari Kemenkes harus diperkuat, khususnya terhadap rumah sakit pendidikan,” jelasnya.
Selain itu, ia menyoroti beban kerja residen yang dinilai berlebihan. Berdasarkan surat edaran dari Ditjen, jam kerja residen bisa mencapai 80 jam per minggu—angka yang dianggap terlalu tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang menetapkan 40–50 jam per minggu.
Terkait kasus pelecehan di Bandung, Slamet menekankan pentingnya pelaksanaan standar operasional prosedur (SOP) secara ketat. Ia menyatakan bahwa seorang dokter tidak seharusnya memeriksa pasien sendirian tanpa kehadiran tenaga medis lain.
“Dokter tidak boleh memeriksa pasien seorang diri, seharusnya selalu ada perawat yang mendampingi,” ujarnya.
Ia juga menekankan perlunya budaya saling awas dan peduli antar tenaga medis di lingkungan rumah sakit.
“Kalau ada perawat di sekitarnya, seharusnya bisa curiga kalau dokter hanya berdua saja dengan pasien. Rumah sakit itu tempat ramai, pengawasan tidak boleh lengah,” imbuh Slamet.
Terkait status residen berinisial Priguna AP, yang sebelumnya tercatat sebagai anggota IDI Bandung, Slamet menyebutkan bahwa proses penanganan internal akan tetap berjalan sembari menunggu hasil penyelidikan dari pihak berwenang.
“Proses di IDI tetap berlanjut. Kami menunggu hasil penyidikan dari kepolisian, lalu kami akan ambil langkah sesuai prosedur organisasi,” tutupnya. (disway/c1/abd)