Iktikaf Boleh di Rumah

--FOTO YUDI PRAYOGA/NU LAMPUNG
PADA 10 hari terakhir Ramadan, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah. Salah satunya beriktikaf di masjid. Ajaran ini berasal dari kebiasaan Rasulullah SAW yang mengajak keluarganya dan umat Islam untuk beriktikaf pada 10 terakhir Ramadan.
Menjadi pertanyaan, bagaimana jika ada seseorang yang tinggal terpencil dari kampung, contoh saja di tengah hutan atau pulau, sedangkan di sana tidak ditemukan masjid. Andaikata harus beriktikaf ke masjid jaraknya sangat jauh. Bagaimana caranya dia beriktikaf agar tetap mendapatkan kesunahan 10 terakhir Ramadan? Apakah diperbolehkan beriktikaf di rumah saja?
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW beriktikaf pada 10 terakhir bulan Ramadan:
''Nabi Muhammad SAW ketika 10 hari terakhir bulan Ramadan tiba, beliau tidak pernah membiarkan anggota keluarganya yang mampu untuk melakukan salat malam (qiyamul lail) untuk meninggalkannya. Beliau selalu mengajak mereka untuk bangun dan sala.'' (HR At-Tirmdizi).
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hiban, juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW beriktikaf di 10 malam terakhir Ramadan: ''Siapa yang ingin beriktikaf bersamaku, maka beritikaflah pada sepuluh malam terakhir." (HR Ibnu Hibban).
Dilansir dari NU Online, melaksanakan ibadah iktikaf di ruangan dalam rumah yang dikhususkan untuk salat hukumnya boleh dan sah dilakukan bagi perempuan menurut pandangan Imam Abu Hanifah dan qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi’i. Sedangkan bagi laki-laki juga sah dan diperbolehkan menurut pandangan sebagian ulama mazhab Syafi’i dengan mengikut pada nalar ’’jika salat sunnah saja yang paling utama dilakukan di rumah, maka iktikaf di rumah semestinya bisa dilakukan”.
Hal demikian seperti yang disampaikan oleh Imam Ar-Rafi’i. Artinya: ’’Wanita melaksanakan iktikaf di masjid rumahnya, maksudnya adalah ruangan tempat menyendiri (di rumah) yang diperuntukkan untuk salat, apakah hal tersebut sah? Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat. Qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i), Imam Malik, dan Imam Ahmad berpandangan tidak sah, sebab tempat tersebut bukanlah masjid secara hakiki, karena tak ubahnya seperti tempat-tempat lainnya. Pendapat ini juga didasari dalil bahwa para istri Rasulullah melaksanakan iktikaf di masjid. Kalau saja boleh beriktikaf di rumah, niscaya mereka menetapkannya.
Qaul qadim dan Abu Hanifah berpendapat boleh iktikaf di rumah (ruangan yang dikhususkan salat), sebab tempat tersebut merupakan tempat salat bagi wanita, seperti halnya masjid merupakan tempat salat bagi laki-laki. Berdasarkan pandangan ini, maka dalam bolehnya iktikaf di rumah bagi laki-laki juga terdapat dua pendapat, meskipun lebih utama bagi laki-laki untuk tidak iktikaf di tempat tersebut. Dalil bolehnya iktikaf di rumah bagi laki-laki adalah pemahaman bahwa salat sunnah bagi laki-laki yang paling utama adalah dilaksanakan di rumah, maka ibadah iktikaf mestinya sama dengan ibadah salat sunnah (Syekh Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i, al-‘Aziz Syarh al-Wajiz, huz 6, halaman 503).