UNIOIL
Bawaslu Header

Ahok Bongkar Dugaan Korupsi dan Permainan ‘Buying Time’ di Pertamina

Ahok mengungkapkan dugaan praktik korupsi di Pertamina dan cerita tentang bagaimana ia mengawasi perusahaan BUMN tersebut selama menjabat komisaris utama. -FOTO DISWAY -

JAKARTA – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kembali membongkar dugaan kebusukan yang terjadi di dalam tubuh PT Pertamina. Ahok, yang sempat menjabat Komisaris Utama PT Pertamina sejak 22 November 2019 hingga 2024, menyebutkan bahwa para direksi dan holding PT Pertamina (Persero) kerap melakukan buying time atau membeli waktu, yang ia curigai sebagai bagian dari permainan tersembunyi.
Ahok mengungkapkan kecurigaannya mengenai fenomena tersebut, termasuk dalam kasus dugaan korupsi pengadaan aditif yang melibatkan PT Pertamina Patra Niaga. “Bekas satu Dirut PT Pertamina Patra Niaga dipecat, saya tidak tahu alasan pastinya, tetapi diduga karena dia tidak mau menandatangani pengadaan aditif itu,” ujar Ahok, yang dikutip pada Sabtu, 1 Maret 2025.
Selanjutnya, Ahok menduga bahwa oknum dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terlibat dalam kasus pengadaan aditif tersebut. Ia menyatakan bahwa oknum di BPK tersebut berfungsi sebagai ‘backing’ untuk membantu Pertamina membeli zat aditif lewat cara yang tidak sah, ltermasuk penggunaan transportasi dan tender yang dipisahkan.
Ahok menambahkan, “Saya tanya, ini nggak bisa terus ditakut-takutin kalau di SPBU nggak ada barang, kelangkaan, padahal saya bilang mana bisa tender dipisah antara transport dengan aditif.” Ia menilai bahwa perbedaan harga transportasi dan aditif, yang menyebabkan ketidakseimbangan biaya, adalah contoh dari upaya untuk “buying time.”
Ahok juga mengungkapkan bahwa ketika dirinya mencoba untuk menyelesaikan masalah ini, ia menemui banyak hambatan. “Saya bilang, ‘Dirut-nya kalau nggak tanda tangan gue nggak laporin nih,’ tapi dirutnya nggak mau tanda tangan di Patra Niaga,” ujar Ahok, sembari menyebutkan bahwa dirut tersebut adalah seorang bekas orang Telkom dengan inisial MK.
Menurut Ahok, permainan lama seperti ini sudah berlangsung sejak lama, dengan masing-masing penguasa di Pertamina tidak ingin menghentikannya. “Banyak orang yang tidak mau saya jadi direktur utama. Banyak yang mendemonya, padahal kalau saya bisa jadi dirut, saya bisa memecat dirut-dirut Sub Holding. Saya tidak pernah takut sama menteri BUMN mana pun selama saya benar,” tegas Ahok.
Ahok juga berbicara tentang perannya sebagai Komisaris Utama Pertamina dalam mengawasi perusahaan tersebut. Ia menceritakan bagaimana dirinya berusaha menerapkan sistem digital di Pertamina, namun inovasinya kerap kali digagalkan. “Sistemnya saya ubah semua digital, sebelum saya tanda tangan disposisi tidak ada yang digital. Pernah dengar nggak kasus dengan Peruri yang Rp500-an miliar? Itu kan buying time contoh dari direksi,” ungkapnya.
Ahok menjelaskan lebih lanjut, “Saya suruh panggil Peruri bikin tanda tangan, lalu mereka laporkan Peruri minta Rp500 miliar. Saya kaget, mana mungkin? Itu mahal. Dirut Peruri bilang karena orang Pertamina minta bangun sistem baru semua. Nah, itu contoh ngeyel buying time,” ujar Ahok.
Dengan segala dugaan dan pengalamannya, Ahok tetap mempertahankan sikap tegasnya dalam mengawasi praktik-praktik yang dianggapnya tidak sesuai dan merugikan Pertamina maupun negara.
Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) membuka peluang untuk memeriksa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mantan Komisaris Utama PT Pertamina, dalam perkara dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina, subholding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018–2023.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menegaskan bahwa siapa pun yang terlibat dalam kasus ini akan dimintai keterangan, baik berdasarkan keterangan saksi maupun bukti lain yang ada.
“Siapapun yang terlibat dalam perkara ini, baik berdasarkan keterangan saksi atau dokumen, pasti akan kita panggil untuk dimintai keterangan,” ujar Abdul Qohar saat konferensi pers di kantornya, Rabu, 26 Februari 2025 malam.
Bocoran Formasi Timnas Indonesia dengan Pemain Keturunan Baru Asuhan Patrick Kluivert, Ganas Bikin Australia Ciut!
Saat ini, Kejaksaan Agung sedang menangani perkara dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina, yang melibatkan subholding dan kontraktor-kontraktor pada periode 2018-2023.
Hingga saat ini, ada enam orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, empat di antaranya adalah petinggi subholding Pertamina, berinisial RS, SDS, YF, AP, MK selaku Direktur Pemasaran Pusat Pertamina Patra Niaga, serta EC selaku VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga.
Tiga tersangka lainnya berasal dari pihak swasta, antara lain MKAR (Muhammad Kerry Andrianto Riza) selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; serta GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Salah satu tersangka, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, disebut melakukan pembelian pertalite yang kemudian dioplos menjadi pertamax.
“Modusnya adalah membeli RON 90, tetapi dibayar dengan harga RON 92, kemudian dicampur atau diblending,” kata Abdul Qohar dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa, 25 Februari 2025.
Akibat perbuatan tersebut, negara mengalami kerugian keuangan sebesar sekitar Rp193,7 triliun.
Sebelumnya Ramai dugaan pembelian minyak jenis RON 92 (Pertamax) yang ternyata berlabel RON 90 (Pertalite), PT Pertamina Patra Niaga disebut-sebut membeli Pertalite untuk kemudian dicampur (dioplos) di depo atau storage menjadi Pertamax.
Menanggapi hal tersebut, Plt. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, menjelaskan bahwa setiap produk BBM yang dipasarkan di Indonesia, Pertamina mengikuti spesifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
’’Terkait dengan spesifikasi setiap produk BBM yang dipasarkan di Indonesia ini diatur oleh Dirjen Migas, baik itu Ron 90, Ron 92, Ron 95, maupun Ron 98. Jadi kita mengikuti spesifikasi dari pemerintah,” katanya dalam rapat dengam komisi XII di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/2).
Terkait proses pengawasan, ia mengungkapkan bahwa kualitas produk BBM diawasi melalui uji sampling yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, khususnya lembaga migas.
“Kami juga memberikan data-data kami sering mendapat informasi ataupun request dari SPBU dari seluruh Indonesia dan itu rutin dilakukan dan kami memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada lem migas untuk melakukan uji kualitas terhadap produk yang kita pasarkan,” jelasnya.
Lebih lanjut, mengenai pengawasan terkait campuran adiktif pada Pertamax, Ega menjelaskan bahwa setiap tahapan, mulai dari penerimaan impor hingga pengisian bahan bakar di SPBU, diawasi.
“Pada saat menerima impor, sebelum loading, hingga uji laboratorium sebelum bongkar, semuanya ada pengawasan,” ujar Ega.
Ia menyebutkan bahwa untuk Pertamax, Pertamina menggunakan adiktif dengan formula khusus. “Kita menggunakan adiktif dengan kadar 0,33 ml per liter, dan adiktif yang kita pakai adalah merk Afton,” tambahnya.
Mengenai pertanyaan apakah hanya ada satu jenis adiktif di dunia, Mars Ega menyebutkan bahwa ada beberapa jenis adiktif, namun Pertamina memilih untuk melakukan lelang dan menggunakan Afton untuk produk Pertamax. “Ada banyak dan kita melalukan lelang,” ungkapnya.
Terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar meminta agar masyarakat tak khawatir terkait dugaan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax (RON 92) yang dioplos dari Pertalite (RON 90) buntut adanya kasus dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Harli menjelaskan praktik pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax itu terjadi antara 2018 hingga 2023.
“Jangan berpikir minyak yang digunakan sekarang adalah oplosan. Itu tidak tepat,” kata Harli kepada wartawan, di Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025.
Mantan Kajati Papua Barat ini menjelaskan bahwa berdasarkan temuan sementara, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, melakukan pembelian dan pembayaran untuk minyak RON 92. Namun, yang diterima justru minyak RON 90 dan RON 88.
“Fakta hukum yang sudah selesai (peristiwanya) bahwa RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga itu melakukan pembayaran terhadap pembelian minyak yang RON 92, berdasarkan price list-nya. Padahal yang datang itu adalah RON 88 atau 90,” lanjutnya.
Harli pun menjelaskan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada 2018-2023. Terlebih, kata Harli, minyak merupakan barang habis pakai yang stoknya terus diperbarui.
“Jadi maksud kita, jangan seolah-olah bahwa peristiwa itu terjadi juga sekarang. Ini kan bisa membahayakan di satu sisi ya. Fakta hukumnya ini di 2018-2023, dan ini sudah selesai. Minyak ini barang habis pakai,” terang Harli.
“Jadi kalau dikatakan stok 2023 itu nggak ada lagi, ya kan. Nah 2018-2023 ini juga ini sedang kami kaji. Apakah di 2018 terus berlangsung sampai 2023, atau misalnya sampai tahun berapa dia,” lanjut dia.
Sementara, Kejaksaan Agung (Kejagung) menggeledah rumah pengusaha minyak Riza Chalid, Selasa 25 Februari 2025. Dalam penggeledahan itu, Kejagung menyita uang senilai Rp833 juta dan dokumen yang diduga terkait dengan kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina.
Penggeledahan dilakukan terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Sebagai informasi, Riza Chalid adalah ayah dari salah satu tersangka dalam kasus minyak mentah ini, yaitu Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) yang menjabat sebagai Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
“Untuk hasil penggeledahan yang di Jalan Jenggala, penyidik itu menyita 34 ordner yang berisi dokumen-dokumen dan itu sekarang sedang diteliti karena di dalam ordner. Kemudian, ada 89 bundel dokumen,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar, Rabu 26 Februari 2025. (disway/c1/abd)

Tag
Share