UNIOIL
Bawaslu Header

Komisi II DPR RI Usulkan Dua Opsi Jadwal Pelantikan Kepala Daerah Hasil Pilkada 2024

Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda -FOTO DISWAY -

JAKARTA – Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan terdapat dua opsi jadwal pelantikan untuk kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024, baik yang bersengketa maupun yang tidak bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menyatakan bahwa opsi-opsi tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan para penyelenggara pemilu, termasuk Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

’’Komisi II DPR RI akan mengundang Mendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk merumuskan opsi-opsi pelantikan sesuai dengan peraturan yang ada,” ujar Rifqinizamy di Jakarta, Rabu (14/1). Rencananya, pertemuan tersebut digelar pada 22 Januari 2025 setelah masa reses.

Rifqinizamy menjelaskan, opsi pertama adalah pelantikan seluruh kepala daerah terpilih dilakukan serentak setelah seluruh putusan MK yang berkekuatan hukum tetap (incracht). Ia memperkirakan proses sengketa pilkada di MK akan selesai pada 12 Maret 2025. “Pelantikannya kita serahkan kepada Presiden karena dasar hukum pelantikan itu adalah Perpres,” katanya.

Opsi kedua adalah pelantikan dilaksanakan serentak untuk kepala daerah terpilih yang tidak bersengketa di MK. Sesuai dengan peraturan presiden yang ada, pelantikan gubernur dan wakil gubernur dijadwalkan pada 7 Februari 2025, sementara pelantikan bupati-wakil bupati serta wali kota-wakil wali kota dijadwalkan pada 10 Februari 2025.

“Pelantikan juga akan dilakukan serentak untuk mereka yang bersengketa sesuai dengan putusan MK, apakah akan ada Pemungutan Suara Ulang (PSU), penghitungan ulang, atau langkah lainnya setelah kita menerima putusan tersebut,” ujarnya.

Namun, Rifqinizamy mengungkapkan adanya dilema atau problematika hukum terkait dengan penetapan jadwal pelantikan kepala daerah. Menurutnya, putusan MK Nomor 46 Tahun 2024 menyatakan bahwa pelantikan hanya dapat dilakukan setelah seluruh sengketa di MK selesai dan memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, pengecualian dibuat untuk daerah yang harus melaksanakan PSU, penghitungan suara ulang, atau pilkada ulang karena adanya keadaan force majeure.

Di sisi lain, Rifqinizamy menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Pasal 160 dan 160A, menyebutkan bahwa pelantikan adalah bagian dari tahapan yang dilakukan oleh KPU di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, dengan waktu pelantikan yang sudah diatur. “Jika kita menunggu putusan MK selesai pada pertengahan Maret 2025, maka ada kemungkinan kita melanggar dua pasal dalam undang-undang ini,” katanya.

Dengan berbagai dinamika ini, Komisi II DPR RI berharap dapat segera mencapai kesepakatan terkait pelantikan kepala daerah terpilih yang sesuai dengan aturan dan kebutuhan pemerintahan daerah.

Anggota Komisi II DPR RI, Rahmat Saleh, meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk melantik kepala daerah terpilih yang tidak bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan. 

Rahmat menilai bahwa wacana penundaan pelantikan kepala daerah hingga Maret 2025 tidak memiliki dasar yang kuat. Hal ini mengingat bahwa kepala daerah terpilih yang tidak terlibat sengketa di MK tidak memiliki persoalan hukum.

“Persoalan apa yang membuat harus diundur pelantikan kepala daerah terpilih tanpa sengketa di MK? Ini tentu menjadi pertanyaan kita,” kata Rahmat dalam keterangannya pada Selasa (14/1). Legislator dari Daerah Pemilihan I Sumatera Barat ini menegaskan bahwa pelantikan seharusnya tetap dilakukan pada Februari 2025 sebagaimana telah dijadwalkan, kecuali ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang harus ditunggu terkait pilkada yang bersengketa.

“Kami mendesak dan meminta Mendagri agar patuh terhadap ketentuan yang telah ada dan disepakati. Kalau mau menunda, harus ada kejelasan yang jelas, terutama yang berkaitan dengan hukum, tetapi ini tidak, kita melihat hanya untuk keseragaman, dan itu tentunya bukan alasan,” lanjut Rahmat.

Seperti diketahui, Pilkada Serentak 2024 digelar di 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. MK saat ini telah meregistrasi 309 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHP Kada) 2024. Artinya, lebih dari 200 kepala daerah terpilih yang tidak terkait perkara PHP Kada 2024 harus menunggu seluruh proses sengketa Pilkada di MK tuntas.

“Bukan hanya itu, masyarakat juga menjadi korban karena ada tumpuan harapan dan janji yang segera ingin mereka rasakan dari kepala daerah terpilih,” kata Rahmat.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan