UNIOIL
Bawaslu Header

Perludem Usulkan Aturan Koalisi Proporsional di Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati.-FOTO IST -

JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengusulkan agar DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang merumuskan aturan yang mengatur dominasi koalisi dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) secara proporsional.

 Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati (Ninis), menyampaikan bahwa aturan dominasi yang rasional sangat diperlukan. Hal ini penting, mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold), juga mengamanatkan agar koalisi partai politik tidak menyebabkan dominasi.

“MK sebenarnya menyarankan adanya ambang batas maksimal koalisi, agar koalisi tidak menjadi dominan,” ujar Ninis dalam sebuah webinar yang diadakan secara daring di Jakarta pada Senin (5/1).

Lebih lanjut, Ninis menekankan pentingnya pembentukan angka atau persentase yang rasional dalam aturan tersebut, untuk menghindari koalisi yang menggerus keberagaman pilihan pemilih.

Senada, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, juga menegaskan bahwa pembentuk undang-undang perlu merumuskan aturan yang tegas agar tidak terjadi koalisi dominan. 

“MK menekankan bahwa batasan koalisi harus diatur sedemikian rupa agar tidak ada dominasi yang mengurangi variasi pilihan bagi masyarakat,” ujar Arya.

Namun, menurut Arya, pengaturan agar tidak ada dominasi dalam koalisi terbilang rumit. “Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan dominasi itu? Berapa ukuran yang tepat untuk mendefinisikan dominasi? Apakah lebih dari 50 persen, atau lebih dari 2/3 suara?” ujarnya.

Pada Kamis (2/1), MK memutuskan untuk menghapus ketentuan ambang batas minimal pencalonan presiden dan wakil presiden yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. 

Menurut MK, ketentuan presidential threshold bertentangan dengan hak politik rakyat dan prinsip-prinsip keadilan yang terkandung dalam UUD 1945.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK memberikan lima pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering). 

Pedoman pertama menyatakan bahwa semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan capres-cawapres, dan pedoman ketiga menyebutkan bahwa koalisi antar partai dapat dilakukan asalkan tidak menyebabkan dominasi yang membatasi pilihan pemilih. 

MK juga menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proses perumusan aturan ini. 

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) akan menjadi salah satu bahan pembahasan dalam revisi undang-undang (UU) atau penyusunan Omnibus Law terkait politik.

Sejauh ini, menurut Dasco, DPR belum memutuskan apakah poin-poin dari putusan MK tersebut, baik presidential threshold maupun parliamentary threshold, akan dimasukkan dalam revisi undang-undang atau dalam Omnibus Law. Pembahasan lebih lanjut baru bisa dilakukan setelah masa reses berakhir pada 15 Januari 2025. Namun, dia menegaskan bahwa putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat, sehingga wajib dipatuhi.

Tag
Share