UNIOIL
Bawaslu Header

Tata Niaga Timah, Ribuan Perusahaan Rugikan Negara

Radar Lampung Baca Koran--

JAKARTA - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkap ribuan perusahaan turut serta merugikan negara dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah. Penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) menjerat lima di antara ribuan perusahaan itu agar penanganan kasusnya lebih efektif. 

Keterangan tersebut disampaikan Burhanuddin usai menerima kunjungan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Kejagung pada Rabu (8/1). ”Ada dua ribu lebih (perusahaan), kalau kami jadikan tersangka semua dua ribu lebih. Kemudian kerugian yang akan kami tuntut kan sangat sedikit, tentunya kami akan efektifnya aja. Kami akan tindak lanjuti itu,” kata dia menegaskan. 

BACA JUGA:Hari Ini Penetapan Kepala Daerah Terpilih

Tindak lanjut yang dimaksud oleh Jaksa Agung terhadap ribuan perusahaan tersebut bakal dilakukan melalui jalur perdata. Sementara proses hukum dilakukan oleh Kejagung dengan menjerat lima perusahaan. Lima perusahaan tersebut kini sudah menjadi tersangka. ”Tapi, yang utamanya adalah lima perusahaan. Itu hampir Rp 150 triliun, yang paling utama yang harus bertanggung jawab,” imbuhnya. 

Sebelumnya, JAM Pidsus Kejagung Febri Adriansyah membeber lima perusahaan yang dijadikan tersangka dalam kasus tersebut. Yakni PT Refined Bangka Tin (PT RBT) menyebabkan kerugian Rp 38,5 triliun; PT Stanindo Inti Perkasa (PT SIP) menyebabkan kerugian Rp 23,6 triliun; PT Tinindo Inter Nusa (PT TIN) menyebabkan kerugian Rp 24,3 triliun; PT Sariwiguna Binasentosa (PT SBS) menyebabkan kerugian Rp 23,6 triliun; CV Venus Inti Perkasa (CV VIP) menyebabkan kerugian Rp 42,1 triliun. 

Ini jumlahnya sekitar Rp 152 triliun. Sisanya dari Rp 271 triliun yang telah diputuskan oleh hakim dan itu menjadi kerugian negara, ini sedang dihitung oleh BPKP. Siapa yang bertanggung jawab, tentunya akan kami tindak lanjuti dan tentunya akan segera kami sampaikan ke publik,” tegasnya.  

Diketahui, Kejagung telah menetapkan lima korporasi sebagai tersangka kasus kerusakan lingkungan tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Penetapan tersangka terhadap lima korporasi itu merupakan pengembangan dari kasus korupsi pengelolaan tata niaga timah yang sebelumnya menjerat Harvey Moeis.

Kelima perusahaan itu di antaranya PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).

  Guru besar bidang ekonomi kehutanan dan lingkungan IPB, Sudarsono menilai langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan lima korporasi sebagai tersangka kasus kerusakan lingkungan dalam kasus tata niaga timah dinilai dapat berdampak terhadap dunia usaha di Indonesia. Ia mengamini, setiap aktivitas eksplorasi lahan, baik di sektor tambangmaupun lainnya, pasti menimbulkan perubahan lingkungan yang tak terhindarkan.  

  "Setiap kali ada eksplorasi lahan, perubahan tutupan lahan pasti terjadi. Tidak hanya tambang, sektor lain seperti perkebunan sawit pun demikian. Jika ini dijadikan dasar untuk menghitung kerugian negara dan dibebankan kepada pelaku usaha, maka semua pihak pasti masuk penjara atau bangkrut," kata Sudarsono kepada wartawan, Jumat (4/1).

Ia memandang, kebijakan itu tidak hanya akan menghancurkan industri pertambangan tetapi juga perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Ia menyebut, seharusnya negara dapat bertanggung jawab atas dampak kerusakan lingkungan pada aktivitas legal pertambangan.

Terlebih, jika eksplorasi atau pengolahan lahan itu sudah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh pemerintah lewat kementerian atau lembaga terkait.

“Jika penambangan dilakukan di (wilayah) IUP artinya legal, maka negaralah yang bertanggung jawab. Kan dia sudah mengeluarkan IUP. Artinya saat izin diberikan maka negara sadar pasti akan terjadi kerugian (lingkungan) negara,” ucap Sudarsono.

Ia menambahkan, kewajiban perusahaan pemegang IUP adalah melakukan reklamasi lahan pasca-eksplorasi. Jika reklamasi tidak dilakukan, barulah sanksi hukum bisa diterapkan. 

Tag
Share