ICJR: Pemberian Amnesti untuk 44.000 Narapidana Harus Transparan dan Akuntabel
Ilustrasi warga binaan di Lampung saat membaca Alquran. -FOTO DOK. RLMG -
“Terkait amnesti ini, salah satu pertimbangan utamanya adalah aspek kemanusiaan dan semangat rekonsiliasi. Presiden memiliki perhatian pada aspek tersebut, yang mencerminkan keputusan politik yang humanis berdasarkan Hak Asasi Manusia, sebagaimana tercantum dalam poin pertama Asta Cita,” kata Pigai dalam keterangan pers, Minggu (15/12).
Pigai juga menambahkan bahwa narapidana yang terkait dengan kasus penghinaan terhadap kepala negara, yang melibatkan UU ITE, sangat erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hal ini juga berlaku bagi narapidana terkait kasus Papua, orang yang sudah lanjut usia, anak-anak, serta mereka yang sudah mengidap penyakit berkepanjangan atau gangguan jiwa dan membutuhkan pengampunan.
“Semua ini berkaitan dengan aspek kemanusiaan dan rekonsiliasi. Kasus-kasus yang terkait dengan UU ITE adalah masalah HAM, begitu pula dengan narapidana yang sakit berkepanjangan. Presiden memberi perhatian khusus pada aspek-aspek HAM dalam pengambilan keputusannya,” ujarnya.
Kementerian Hukum dan HAM, lanjut Pigai, juga akan memberikan perhatian khusus kepada ribuan narapidana ini melalui program Kesadaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebelumnya, pada Jumat (13/12), Presiden Prabowo memimpin rapat terbatas bersama sejumlah menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, yang membahas beberapa isu, termasuk pemberian amnesti untuk narapidana tertentu atas dasar kemanusiaan, mengurangi kelebihan kapasitas lapas, dan mendukung rekonsiliasi di beberapa wilayah.
Data sementara dari Kementerian Hukum dan HAM mencatat ada sekitar 44 ribu narapidana yang berpotensi diusulkan untuk mendapat amnesti. Namun, jumlah pastinya masih dalam proses klasifikasi dan asesmen. Pemerintah juga akan meminta pertimbangan dari DPR sebelum mengambil keputusan final. (jpnn/c1/abd)