Elite PAN Dorong Presidential Treshold Nol Persen
Wakil Ketua Umum PAN Eddy Soeparno-FOTO IST -
Acara tersebut turut dihadiri oleh Wakil Menteri (Wamen) Transmigrasi Viva Yoga Mauladi, Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Dyah Roro Esti, Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, Ketua Komisi VII DPR RI Saleh Partaonan Daulay, hingga Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio.
Sebelumnya, Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen yang berlaku saat ini berpeluang berubah untuk pemilihan umum berikutnya. Itu seiring dikabulkannya gugatan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pemerintah dan DPR merumuskan ulang parliamentary threshold untuk pemilu ke depan. Perintah MK itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang dibacakan di gedung MK, Jakarta, Kamis (29/2).
Dalam gugatannya, Perludem meminta MK menguji konstitusionalitas Pasal 414 ayat 1 UU 7/2017 tentang Pemilu. Perludem mempersoalkan ambang batas parlemen yang dianggap tidak jelas perumusan angkanya.
BACA JUGA:Anggota Panwaslu yang Hilang di Mimika Sudah Ditemukan
Kemudian, Perludem mengusulkan skema penghitungan konversi kursi yang dianggap lebih proporsional.
MK dalam putusannya hanya mengabulkan dalil soal ketidakjelasan perumusan angka ambang batas.
Sementara terkait skema penghitungan, MK menegaskan menjadi kewenangan pembentuk UU untuk menetapkannya.
”Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam pembacaan putusan.
BACA JUGA:Ribuan Laporan Pelanggaran Pidana Pemilu 2024 Masuk Bawaslu RI
Dalam pertimbangannya, hakim MK Saldi Isra mengatakan, penerapan ambang batas merupakan hal yang lumrah di negara yang menganut sistem multipartai.
Di Indonesia, pelaksanaannya pun berlaku sejak 2004.
Tujuannya, memperkuat sistem presidensial melalui penyederhanaan partai politik. Meski implementasinya tidak terbukti efektif, sistem itu tidak masalah untuk dipertahankan.
Namun, MK menyoroti angka ambang batas yang terus berubah-ubah. Ironisnya, perubahan angka itu tidak memiliki dasar perhitungan yang logis dan ilmiah.
Dalam pernyataannya di persidangan, pemerintah maupun DPR tidak menjelaskan kenapa 4 persen yang dipilih.