Bawaslu Tangani Ratusan Pelanggaran Pemilu, 153 Pelanggaran Administrasi dan 136 Pelanggaran Pidana Terungkap
TANGANI RATUSAN PELANGGARAN: Bawaslu RI terus menangani pelanggaran pemilu, termasuk pelanggaran administrasi, pidana, dan kode etik. Penanganan pelanggaran diperkirakan terus bertambah.-FOTO BAWASLU RI -
JAKARTA – Hingga awal Desember ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI telah menangani sejumlah pelanggaran Pemilu 2024. Di mana tercatat 153 pelanggaran administrasi, 136 pelanggaran pidana, 128 pelanggaran kode etik, dan 485 pelanggaran hukum lainnya.
Anggota Bawaslu Herwyn J.H. Malonda mengungkapkan bahwa penanganan pelanggaran masih bisa bertambah, mengingat tahapan pemilihan yang masih berlangsung.
Herwyn menjelaskan, berdasarkan data sementara, Bawaslu telah mendaftarkan 522 temuan dari total 525 temuan yang tercatat.
Sementara itu, laporan masyarakat terkait pelanggaran mencapai 2.755 laporan, dengan rincian 1.407 laporan yang diregister, 82 laporan yang tidak diregister, dan 135 laporan yang masih belum diregister.
“Dari laporan dan temuan yang kami tangani, 803 di antaranya dinyatakan sebagai pelanggaran, sementara 930 lainnya tidak memenuhi kriteria pelanggaran. Pelanggaran administrasi sebanyak 153, pelanggaran pidana 136, pelanggaran kode etik 128, dan pelanggaran hukum lainnya 485, yang sebagian besar berkaitan dengan netralitas ASN yang kami teruskan ke BKN,” ungkap Herwyn dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Herwyn menjelaskan lebih lanjut bahwa tren pelanggaran administrasi seringkali terkait dengan alat peraga kampanye (APK) serta ketidaksesuaian prosedur yang dilakukan oleh KPU. Sementara itu, pelanggaran kode etik banyak ditemukan di kalangan penyelenggara adhoc, baik di Bawaslu maupun KPU.
Terkait pelanggaran tindak pidana, Herwyn menyebutkan sebuah kasus di Metro Lampung yang melibatkan penyalahgunaan kewenangan sesuai dengan Pasal 71 ayat 3. Kasus ini berimplikasi pada pembatalan calon Wakil Walikota.
“Untuk netralitas kepala desa, hingga awal Desember, ada sekitar 79 temuan dan 129 laporan terkait dugaan pelanggaran. Selain itu, sejumlah dugaan pelanggaran lainnya masih dalam proses penyelidikan, khususnya pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi suara. Kasus-kasus ini bisa berimplikasi pada tindak pidana pemilihan atau bahkan rekomendasi PSU (Pemungutan Suara Ulang) dan penghitungan ulang suara,” papar Herwyn. Sebelumnya, Pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam Pilkada 2024 menjadi sorotan utama, dengan banyaknya laporan terkait ketidaknetralan aparat yang diterima oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Penggiat pemilu Anik Sholihatun menilai pelanggaran ini lebih mencuat dibandingkan pilkada sebelumnya. Dia memperkirakan hal ini dipicu oleh pelaksanaan pilkada secara serentak di 37 provinsi seluruh Indonesia.
Anik mengutip hasil riset dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang menyebutkan bahwa salah satu faktor utama pelanggaran netralitas ASN adalah keberadaan pejabat atasan mereka, terutama kepala daerah yang berasal dari partai politik.
“Dalam riset KASN yang saya baca, salah satu penyebab terbesar ASN tidak netral itu karena pejabat atasan mereka atau kepala daerah mereka itu orang partai politik,” ungkap Anik dalam diskusi media Bawaslu di Kepulauan Riau, 3 Desember 2024.
Namun, Anik juga mencatat bahwa lebih dari setengah pejabat yang menjabat pada Pilkada 2024 bukan lagi anggota partai politik.
“Kalau riset KASN benar, seharusnya di daerah yang dipimpin oleh pejabat kepala daerah non-partai politik, tidak ada pelanggaran netralitas ASN. Tapi kenyataannya tidak demikian.”
Anik pun mempertanyakan komitmen pejabat kepala daerah yang diangkat (Pj) dalam menegakkan aturan netralitas ASN.