Oleh: Nabila Zainuri, M.Pd.
(Dosen Fakultas Adab UIN Raden Intan Lampung/Da’iyah Fordaf (Forum Da’iyah Fatayat NU Provinsi Lampung)/Juara Aksi Asia Indosiar 2018)
BULAN Ramadan memiliki sesuatu yang identik, yaitu penggunaan kata yang sama tetapi makna yang berbeda.
Tujuan akhir setiap menjalankan ibadah, termasuk puasa Ramadan, adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berupaya agar selama dan setelah menjalankan ibadah berada pada posisi terjaga dari perbuatan yang dilarang oleh syariat dan senantiasa dapat mewujudkan sikap dan perilaku sesuai dengan kaidah islamiah.
Mari simak dan renungkan firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al Baqarah ayat 183, artinya: ’’Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
BACA JUGA:Kemenag Bandar Lampung Bagikan 1.825 Paket Sembako
Makna pertama dalam kata syiam artinya menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa secara sengaja (seperti makan, minum, berhubungan suami istri) sejak fajar hingga magrib.
Shaum itu puasa plus, bukan hanya menahan diri dari yang membatalkan puasa tetapi juga menahan sesuatu yang mengurangi/membatalkan pahala puasa.
Rasulullah SAW bersabda: “Banyak orang menjalankan puasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah)
Hal ini karena selama menjalankan ibadah puasa tidak mampu menjaga ucapan dan perbuatannya dari hal-hal yang tidak baik dan menyakiti pihak lain.
BACA JUGA:Ramadan Momentum Merekatkan Ukhuwah yang Retak Pasca Pemilu
Puasa yang semestinya membentuk sikap dan perilaku manusia bertakwa, justru memunculkan perseteruan yang menimbulkan ketidaktenangan dalam kehidupan bersama.
Lalu apakah yang bisa membatalkan pahala puasa?
1. Berbohong